Kolom Sehat: UMKM Kedungadem

East Java Journey hampir seminggu berlalu. Tapi capeknya masih melekat di tubuh saya.

Bagaimana tidak tiga hari penuh cerita di jalan. Mungkin ini gowes terlama saya di atas sepeda.

Hanya pada malam pertama saya dan beberapa teman "sesuai anjuran" tidur di Blitar. Walau beberapa yang tidak meneruskan bersepeda.

Keletihan tubuh semakin menumpuk karena hari kedua dan ketiga nyaris tidak tidur. Tidur pun hanya untuk mengusir rasa kantuk, setelah itu lanjut lagi. Tempat tidur pun senemunya.  Biasa cara seperti ini disebut power nap. Bobo bentar untuk mengembalikan tenaga .

Saya tidak tahu dengan peserta lain bagaimana. Tapi saya, Om Tatang dan Okta menemukan banyak sekali warung dan tempat makan di sepanjang jalan. Dan, sudah tugas kita untuk membuat mereka tetap bertahan, wkwkwkwk.

Ada banyak warung dan tempat makan yang kita singgahi. Pasti punya banyak ceritanya. Tapi bagi saya tempat yang satu ini ceritanya begitu sedih dan tak begitu menusuk kalbu. 

Setelah jalan beton rolling seperti roller coaster yang panjang di daerah Bojonegoro, saya sangat merasa lelah. Jalan betonnya seakan memantulkan panas matahari. Seperti menerima panas dari atas dan bawah. Punggung ini seperti alat panggang alami. Badan terasa lemas karena saking panasnya

Di perjalanan saya ditelp Om Tatang. Dia berhenti di Pasar Kedungadem. Ia berhenti di warung sebelah kanan, setelah hampir 30 menit mengayuh akhirnya kebablasan juga tempatnya. Walau hanya kebablasan beberapa ratus meter.

Warungnya kecil. Saya langsung mengambil posisi duduk. Membuka helm  dan bernafas selega mungkin. Karena ada atap di atas kepala saya, sinar matahari itu tidak langsung mengenai saya. Setelah beberapa saat si ibu penjaga menawari makan.

Ada rawon atau pecel? Saya pilih pecel.

Ikan ayam atau telor? Saya pilih telor.

Ibu itu masuk ke belakang memasak dan beberapa waktu kemudian membawakan nasi pecel dengan telur dadar di atasnya, juga beberapa gorengan temannya. Saya makan sendiri dengan lahap karena Om Tatang sudah selesai makan. Sambil saya lahap makan, Om Tatang berusaha memulai percakapan dengan si ibu. Wwalnya saya lebih konsen terhadap gorengan yang saya gigit, sambil sekilas mendengar si ibu bercerita.

"Meninggal." "Juga meninggal, nggak sakit juga meninggal”

Kira-kira seperti ini kata-kata yang saya dengar. Saya berhenti dan melihat Om Tatang. Dan, sebelum Om Tatang menjelaskan, si ibu mengulang lagi ceritanya dengan kalimat yang lain.

"Iya saya kerjakan ini sendiri, anak saya meninggal, mantu juga, suami saya tidak sakit juga meninggal ketika masa Covid-19. Sekarang tinggal saya mengerjakan warung ini sendiri,” kira-kira begitu ucapan lengkapnya.

Wah kita yang di sana jadi bingung mau menjawab apa. Tapi si ibu menerukan cerita. Intinya dia bersyukur bisa kuat dan masih bisa bekerja.

Yang bikin lebih kagum lagi, ketika membayar Om Tatang sengaja tidak mengambil kembaliannya. Diberikan uang kembalian itu pada si ibu. Setelah itu si ibu mengucapkan terima kasih. Tapi beliau kemudian memasukkan uang itu ke kotak amal yang ada di meja depan. Sambil berharap dia selalu sehat selalu di bawah perlindungan Allah.

Bila Anda bersepeda di area Kedungadem, bisa mampir ke warung ini untuk berteduh dan makan. Paling tidak bisa membantu si ibu yang sudah berumur 70 tahun lebih ini untuk bertahan hidup. Sekian.(Johnny Ray)


COMMENTS