Sepuluh Produk Cycling Pilihan Azrul Ananda di Akhir 2021

Ternyata tidak mudah memilih sepuluh barang favorit setiap tahun. Untuk edisi akhir 2021 ini, mungkin tema utama saya adalah function, practicality, dan affordability. Maklum, di tengah booming-nya bersepeda, muncul juga sisi menyebalkannya. Seperti harga yang melambung tinggi atau kehadiran sejumlah cyclist ikut-ikutan yang kelakuannya jauh dari esensi cycling.

Berikut ini sepuluh produk atau hal cycling yang jadi favorit saya selama 2021. Adakah yang sama dengan Anda?

1. Kacamata Siroko
Di saat banyak cyclist berlomba membeli kacamata paling "kalcer" atau mahal, entah mengapa perhatian saya justru tertoleh ke merek Siroko. Merek Spanyol yang tahun 2021 ini menjadi official partner di Vuelta a Espana.

Seperti biasa, awalnya saya iseng beli. Ternyata suka. Modelnya cocok, ringan, dan kualitas lensanya melebihi ekspektasi. Yang utama: Harganya! Hanya di kisaran Rp 500-600 ribu.

Favorit saya adalah Siroko K3 yang hadir dalam berbagai pilihan warna dan lensa. Berat frame-nya hanya 27 gram, dengan lensa polarized atau photochromic. Lensanya pun terjangkau, jadi saya pesan beberapa pilihan biar bisa gonta-ganti sesuai matching jersey, helm, atau kebutuhan pemakaian.

Hanya satu repotnya. Siroko belum bisa mengirim langsung ke Indonesia. Jadi saya titip teman he he he...

2. Favero Assioma Duo
Tahun ini saya kebagian tugas menjajal banyak frame prototipe baru. Mulai karbon, aluminium, sampai titanium. Karena terbiasa pakai power meter, maka sangat ribet untuk memindah-mindah yang berbasiskan crank.

Salah satu solusinya adalah power meter berbasis pedal. Tapi, saya punya pengalaman kurang memuaskan memakai Garmin Vector (1 dan 3). Garmin Rally yang baru memberi pengalaman jauh lebih baik. Apalagi saya memakai versi offroad-nya saat ikut Unbound Gravel dan aman-aman saja. Tinggal menunggu long term-nya. Saya juga pernah kurang puas pakai pedal PowerTap.

Untung ada Favero Assioma Duo. Semula sempat ragu, tapi akhirnya memutuskan beli dan coba. Ternyata, pengalaman pakai Assioma jauh lebih memuaskan. Baterainya di-charge, bukan ganti-ganti, jadi lebih tenang. Platform pedalnya juga kompatibel nyaman dengan Look Keo. Hanya melepasnya saja sedikit lebih keras.

Saya memilih yang Duo karena bisa mengukur kanan dan kiri (yang Uno hanya satu sisi). Sekaligus memonitor kondisi kaki kanan saya yang lututnya pernah "dibongkar besar."

Saya akan terus memakai Assioma sampai ada opsi lain yang bikin penasaran. Yang paling saya tunggu: Wahoo Speedplay power meter pedal. Karena saya memang sebenarnya lebih suka pakai pedal model lolipop itu.

3. Sepatu yang Bernafas
Sejak pandemi, saya begitu banyak gowes virtual. Dan itu berarti semakin merasakan pentingnya memakai sepatu yang "airy" alias berventilasi ekstra. Anda yang banyak nge-Zwift pasti tahu kenapa. Keringat yang mengalir begitu luar biasa.

Kesukaan ini terbawa ke jalanan. Kaki terasa lebih adem menggunakan sepatu dengan upper lebih tipis dand berventilasi ekstra. Karena itu, tahun ini ada dua sepatu yang begitu saya suka. Yaitu Giro Empire SLX dan Mavic Cosmic Ultimate SL. Selain adem, keduanya juga punya sol karbon yang sangat kaku tapi tetap nyaman.

Memang ada pilihan sepatu indoor dari Shimano. Tapi solnya dari nylon, terasa "lentur" di bawah kaki. Khususnya saat latihan rute nanjak virtual atau program interval. Karena itu, khusus untuk indoor, sepatu andalan saya sekarang adalah Shimano TR9 yang notabene sepatu triathlon. Gampang lepas-pasangnya, dan permukaannya didominasi bahan mesh yang "bernafas lega."

Dari semua favorit saya tahun ini, soal sepatu sepeda ternyata masih sulit memilih yang terjangkau. Selisih performanya terasa. Apalagi untuk yang kakinya ukuran 45 seperti saya.

4. Kaus Kaki Heel Tread (Racing Classic)
Walau kadang yang dipakai ya itu-itu saja, saya punya terlalu banyak kaus kaki. Mulai yang polos-polos sampai yang lucu-lucu seperti bergambar Pac Man atau jin-nya Aladin. Belakangan, saya menemukan merek kaus kaki unik yang memuaskan kesukaan saya terhadap dunia balap mobil. Khususnya Formula 1. Yaitu merek Heel Tread asal Inggris.

Harganya tidak ajaib. Sekitar 10 Euro sepasang. Ongkir juga biasa, walau pajaknya yang bikin lebih mahal. Tapi, desain-desainnya benar-benar membuat saya bahagia. Karena banyak tema corak mobil-mobil F1 klasik. Seperti Ferrari, Lotus, McLaren, Tyrrell, dan Williams. Juga ada corak kuning-hijau-biru helm pembalap favorit saya sepanjang sejarah: Ayrton Senna.

5. Bib Short SUB 05AM
Simon Mottram, pendiri Rapha, pernah bilang kalau yang paling sulit itu adalah membuat bib short. Produsen apparel sepeda asli Indonesia, SUB, pada 2021 akhirnya merilis bib short pertama mereka, dilabeli 05AM. Untuk menemani barisan jersey warna-warni 05AM yang sekarang mungkin paling populer di Indonesia.

Ternyata memang tidak mudah. Apalagi untuk benar-benar memproduksinya di Indonesia, dengan standar dan ekspektasi tinggi. Bukan sekadar bikin bib dan jualan murah! Dengan bangga, saya merasa turut andil membuatnya. Karena saya ikut jadi tester. Menjajal berbagai variasi dan prototipenya, dan beberapa kali merasakan lecet dan sakit dalam upaya menuju produk finalnya. Singkat kata, saya bukan sekadar ikut berkeringat, melainkan juga ikut berdarah-darah menyempurnakannya. Wkwkwk...

Sekarang, produk akhirnya sudah bisa dinikmati semua. Nyaman, sudah berkali-kali saya hajar gowes ratusan kilometer. Long endurance maupun menanjak. Dan ini benar-benar dikembangkan dan dibuat di Indonesia! Plus tidak lama lagi, SUB juga akan punya varian yang lebih premium.

Sekarang kalau melihat barisan bib saya di lemari, pada dasarnya hanya ada tiga merek: Rapha, The Black Bibs, dan SUB!

6. Grupset Sensah
Saya yakin, banyak penghobi sepeda yang sudah lama merasa sebal dengan perkembangan dua tahun terakhir. Di mana harga grupset terus melambung dan jadi tidak masuk akal. Walau teknologi terus berkembang, jurang pemisah antara yang mampu dan tidak mampu menjadi semakin melebar. Hobi sepeda yang seharusnya bisa mempertemukan segala kalangan, kini bisa jadi pemisah status sosial yang meresahkan.

Padahal, menurut saya grupset tidak sebesar itu andilnya dengan performa di atas sepeda. Frame dan wheelset jauh lebih berperan. Mesinnya tetap badan dan kaki kita. Penopang utama tetap frame, dan yang menerjemahkan semua itu ke jalan adalah wheelset. Grupset "hanyalah" drivetrain. Kalau di mobil ya girboksnya.

Setahun terakhir, saya banyak bereksperimen. Dan menurut saya, merek Sensah asal Tiongkok adalah alternatif yang menarik. Ada Empire yang 11-speed, yang komponennya bisa memilih versi alloy atau karbon. Lalu ada Empire Pro yang 12-speed, yang karbon. Harganya jauh di bawah komponen mid to high end milik The Big Three.

Merek alternatif yang lebih terjangkau menurut saya sangatlah penting. Supaya hobi sepeda ini bisa diakses lebih banyak kalangan! Karena cycling seharusnya inclusive, bukan eksklusif. Tulisan saya lebih detail tentang Sensah bisa dibaca di sini (link).

7. Tas Perlengkapan Cycling
Traveling bawa sepeda itu gampang-gampang susah. Untuk sepeda ada berbagai macam bike bag atau bike box. Walau sekarang, tren integrated handlebar bikin packing lebih kompleks dan box lebih gede.

Namun, ada yang agak terlupakan. Yaitu tas untuk mengangkut berbagai aksesori sepeda. Khususnya kalau tidak bisa dimasukkan dalam koper sepeda.  Di pasaran ada beberapa opsi travel bag, dengan kompartemen-kompartemen khusus untuk sepatu, helm, dan pakaian basah/kotor. Castelli punya, Rapha pernah punya, bahkan Zipp juga pernah saya beli. Harganya tentu tidak masuk akal pula.


Beberapa tahun lalu, saya dan teman-teman di komunitas sepeda di Surabaya pernah merancang gym bag khusus untuk sepeda. Hanya saja, waktu itu kualitas masih belum maksimal, serta ukurannya belum ideal. Misalnya, tasnya terlalu besar untuk masuk kabin pesawat. Tapi, kita juga tidak mungkin membiarkannya masuk bagasi dengan berbagai aksesori kurang terlindung.

Nah, baru-baru ini, tim Azawear.com saya minta untuk menyempurnakan desain itu. Ukurannya benar-benar pas untuk kabin pesawat. Kompartemen-kompartemennya juga lebih pas. Ada tempat untuk helm, sepatu, baju/jersey dan aksesori, plus kalau mau perlengkapan mandi, bidon, kacamata, dan lain-lain. Sangat ideal untuk weekend cycling trip, seperti saat ikut event!

8. Helm Limar Air Master
Mungkin saya yang semakin berumur, wkwkwk. Belakangan, saya makin mengapresiasi helm yang ringan dan sederhana. Model dan "aero" urusan kesekian. Dan buat apa helm aero kalau yang makai badannya seperti Obelix wkwkwk...

Helm POC selama ini jadi kepercayaan. Helm Abus AirBreaker belakangan sering dipakai. Tapi, saya juga kepincut dengan helm-helm baru Limar. Merek Italia itu dulu dikenal paling ringan, dan kini punya produk-produk baru menarik. Saya punya Limar Air Speed dan Air Master.

Yang Air Master belakangan sering sekali saya pakai. Selain ringan, harganya juga lebih terjangkau dibandingkan merek-merek yang kini disukai para newbie. Function di atas fashion!

Saya sedang menunggu Limar Air Stratos, yang seharusnya lebih terjangkau lagi dan juga ringan. Helm ini diposisikan untuk dipakai dalam segala keadaan, khususnya untuk allroad/gravel.

9. Sepeda Aluminium
Sama seperti pendapat saya tentang grupset, melambungnya harga sepeda membuat olahraga ini terkesan sulit diakses oleh segala kalangan. Karena itu, saya semakin respek dengan produk-produk frame aluminium, yang membantu membuat cycling lebih inclusive.

Seperti kata partner podcast saya, Johnny Ray, 99 persen cyclist tidak akan jadi atlet. Tidak bisa membedakan apa itu aero, seberapa besar selisih 10 watt, atau jargon-jargon sepeda lain.

Polygon Stratos merupakan entry point populer. Inilah produk pahlawan penggemar baru di berbagai penjuru Indonesia. Dari situ, ketika sudah suka, banyak di antara mereka meng-upgrade frameset itu dengan yang dianggap lebih baik. Dengan komponen yang sama.


Wdnsdy Aluminati Disc

Aluminium juga tidak boleh diremehkan. Ada jenis-jenis yang terbuat dari bahan lebih premium. Cannondale CAAD12 merupakan salah satu favorit saya. Condor Italia RC juga masih jadi bagian dari koleksi saya, sebuah sepeda alloy yang punya ride quality ala steel mewah. Dan tentu saja, dalam lebih dari setahun terakhir, bersama rekan-rekan di Wdnsdy kami mencoba mengembangkan Aluminati dan Aluminati Disc.

10. Susu Whey The Legion
Sebagai penghobi yang menargetkan 300-400 km bersepeda dalam sepekan, nutrisi sangatlah penting. Saya tidak minum suplemen aneh-aneh. Hanya Vitamin C dan Multivitamin mengingat jadwal hidup saya yang tidak teratur. Tapi setelah gowes, saya selalu minum susu whey protein untuk membantu recovery.

Dulu, agak sulit mencari yang cocok. Apalagi kebanyakan harus impor, jadi harganya tidak karuan. Dalam beberapa bulan terakhir, ada merek nutrisi baru asli Indonesia yang menarik. Namanya The Legion. Banyak mensponsori klub sepak bola profesional Indonesia, termasuk klub yang saya kelola: Persebaya.

Ketika mencoba, ternyata langsung cocok! Usut punya usut, pimpinannya punya pengalaman lama di merek asing yang selama bertahun-tahun saya pakai. Sekarang, habis gowes, saya minum The Legion Phobos Pre-Isolate. Mengandung protein 27 gram dalam tiap porsi, sangat cukup untuk recovery.

Harganya jauh lebih terjangkau. Hanya Rp 385 ribu per boks, berisikan 20 sachet. Saya jadi hemat jutaan rupiah! Format kemasannya juga penting. karena sudah terbagi dalam sachet, saya juga jadi lebih mudah membawanya untuk traveling. Tiga hari gowes, bawa tiga sachet. Beres.

Soal rasa, ini yang paling saya apresiasi. Karena manisnya pas, tidak berlebihan. Tidak ada tambahan gula. Saya masih pakai yang dark choco, tapi ada opsi cookies cream dan vanilla coffee. Dan sekali lagi: Ini merek Indonesia, buatan Indonesia! (azrul ananda)

Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 70

Foto:  DBL Indonesia, MS Arifin, Wdnsdy Bike, David Yonathan, Favero, Heel Tread


COMMENTS