Kolom Sehat: Berputar-Putar Demi Kilometer

Sejak vaksin sudah mulai didistribusikan, motivasi masyarakat untuk kembali berkarya makin tinggi. Maklum, selama pandemi semua harus “tiarap”. Saya pun demikian.

Setelah sekian purnama, pekan ini saya kembali punya sebuah “kewajiban” untuk pergi ke Jakarta. Lantaran jadwal ke Jakarta memungkinkan untuk gowes, maka saya juga membawa sepeda. Setelah saya ingat lagi, ternyata sudah setahun lebih saya tidak mengepak sepeda, menaruhnya di bikebox, dan terbang bersama sepeda saya.

Rute gowes di Jakarta yang saya jalani sesuai dengan kesepakatan Om Aza (Azrul Ananda) dan Om Ronald Simanjutak. Kami sepakat mencoba "Km nol". Saya setuju karena kebetulan belum pernah menjajal rute itu. Tapi ketika mendengar katanya rute itu nanjak. Saya sempat ragu. Pulang pergi dari tikum (titik kumpul) bisa sekitar 80 kilometer. Tikumnya di daerah dekat Cilandak Town Square (Citos). Start-nya pukul 5.30.

Setelah kami berkumpul, ada tawaran menarik. Yakni mengganti rute gowes pagi itu, dari “Km nol” ke Bintaro, untuk nge-loop di sana. Mendengar “Km nol” yang katanya nanjak, lalu ada tawaran nge-loop, tanpa pikir penjang saya menjawab: Mau!

Kenapa mau? Ya, karena saya harus kembali ke Surabaya. Kalau terlalu jauh dan nanti pulang kesiangan, bisa batal kepulangan saya.

Setelah dua puluh menit gowes ke daerah Bintaro, akhirnya kami sampai di rute nge-loop yang kondang itu. Sialnya, bike computer saya mati. Entah mengapa. Mau saya kasih kembang, tapi kalau di-charge bisa hidup lagi.

Lantaran bike computer mati, saya pun tak tahu kondisi jantung dan kecepatan gowes pagi itu. Apalagi, Om Aza dan Om Ronald secara perlahan tapi pasti menambah kecepatannya. Yahhh, sama saja, akhirnya tetap capek juga.

Setelah beberapa saat nge-loop, saya lihat pleton di seberang. Di peleton itu ada cyclist perempuan yang saya kenal. Marika namanya. “Ikut dia aja ah,” pikir saya begitu. Sebab saya lagi tidak fit untuk kebut-kebutan.

Setelah saya memperlambat, akhirnya pleton itu datang. Saya ikut dari rombongan paling belakang. Wah nyaman, bisa bernafas dengan sangat baik. Tidak perlu alat bantu seperti saat bersama Om Aza dan Om Ronald.

Setelah satu putaran, perempuan yang saya kenal itu tiba-tiba menambah kecepatannya. Dan itu diikuti juga beberapa cyclist lain di peleton tersebut. Akhirnya terpaksa saya ikut menambah kecepatan. Di situlah dada mulai sulit bernapas. Saya lihat speedo tak terbaca apa-apa. Saya lupa kalau tidak bisa menyala. Saya lihat belakang, barisannya ternyata panjangggg.

Saya sempat berniat melepaskan diri dari peleton itu. Tapi tidak mungkin. Sebab saya akan sibuk menjelaskan alasannya kelak. Mau tidak mau saya pun tetap ikut.

Tidak berhenti di speed tingginya, ternyata ketika bertemu dengan kendaraan lain, seperti sepeda motor dan mobil, Marika dengan sigap memberikan kode agar diberi jalan.

Artinya, dia tidak memperlambat kecepatannya. Dan, lagi-lagi saya harus ikut. Itu yang terjadi sampai beberapa lap. Sampai akhirnya saya bertemu rombongan Om Aza lagi. Ternyata sama-sama tersiksanya. 

Saya tak tahu berapa kecepatan nge-loop hari itu. Yang pasti speed-nya tidak sepelan yang saya harapkan. Beruntung ada sesuatu yang membuat saya tetap terhibur di gowes hari itu.

Saya terhibur oleh banyaknya makanan yang ditawarkan di sepanjang jalan. Ada jualan burger, ayam goreng cepat saji, dan cafe. Eits, ada burger yang lain juga. Paling tidak, saya tahu tak akan bongking di sini.

Lebih beruntung lagi, Marika harus masuk kantor hari itu. Jadi saya juga ikut menyudahi berputar di loop ini. Dari gowes pagi itu saya dapat pelajaran. Yaitu, saya harus bertanya dan memastikan peleton mana yang beneran cocok untuk santuy dan mana yang ride asli. Tentu ukuran santuy-nya bukan “kaleng-kaleng”, seperti yang dilakukan cyclist perempuan ini. (johnny ray)

Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 39

Audionya bisa didengarkan di sini

Foto: Dimas Hastomo, Reggy Virdiansah, Apriansyah Mulia, Aminudin


COMMENTS