Unbound Gravel: Seperti Gowes di Depan Toko Bangunan

Bersama dua teman, saya berkesempatan mengikuti Unbound Gravel alias Dirty Kanza, ajang gravel paling populer di Amerika, bahkan mungkin di dunia. Event itu kini sudah berlalu, dan memang sangat berkesan bagi saya. 

Om John Boemihardjo dan Azrul "Aza" Ananda memilih yang 200 mil, sedangkan saya memilih yang 100 mil. Buta akan medan membuat saya berpikir untuk memilih yang "pendek" dulu. Baru berikutnya jajal yang 200 mil. Itu pun kalau jadi ikut lagi.

Cut off time 21 jam untuk 200 mil juga menjadi salah satu sebab kenapa saya memilih yang 100 mil. Saya pikir, badan saya tidak mungkin kuat bersepeda 20 jam.

Sebenarnya, rute gravel itu bagaimana sih?

Saya baru jelas dan paham ketika sudah menyelesaikan event-nya. Memang kita bisa melihat di YouTube, dan yang membahasnya juga sudah banyak. Tapi, tetap saja panca indera kita akan lebih nyata merasakan ketika benar-benar bersepeda di medannya.

Ada yang meminta untuk dicarikan medan gravel di Indonesia. Menurut saya, 99 persen tidak ada! Karena gravel bukan sekadar makadam. Beda. Saya juga pernah ber-MTB. Awalnya, saya kira rute makadam. Tapi bukan.

Menurut saya, kalau kita di Indonesia pengin tahu seperti apa rasanya, pergi saja ke toko bangunan yang di depan pintunya menjual kerikil untuk bahan ngecor. Nah, bawa sepeda Anda di tumpukan kerikil itu dan goweslah. Lalu bayangkan itu ratusan kilometer panjangnya.

Sebelum event itu kami jalani, kami berkesempatan menjajal sedikit rutenya. Di sekitar tempat start di Kota Emporia, Kansas. Hari pertama sekitar 25 km, hari kedua 40 km.

Ketika menjajal rute itu, hasilnya memuaskan. Goderrrr! Gampang! Kita bisa jalan 30-an km/jam. Saya membayangkan, saya bakal bisa menyelesaikan rute 100 mil dalam waktu enam jam-an. Paling mentok delapan jam, ditambah halangan ini dan itu, serta istirahatnya.

Rasa percaya diri saya sempat naik. Bahkan sempat ingin mengganti rute ke 200 mil. Apalagi seorang teman saya, Yoyo dari Solo, memanasi untuk mengambil rute yang 200 mil itu. Nanggung katanya. Tapi karena saya sudah telanjur daftar yang 100, jadi ya tidak bisa berubah.

Tibalah Hari H.

Sebanyak 900-an peserta 100 mil start dari Emporia pukul 7 pagi. Satu jam setelah 1.100-an peserta 200 mil. Pada km 30 (saya masih memakai ukuran metric di Garmin saya), sepeda mulai terasa berat. Padahal jalannya flat. Setelah melihat permukaan jalan, ternyata sudah berubah. Kalau di awal masih banyak tanah padat halus dan sedikit kerikil, berubah menjadi hamparan kerikil dari ujung ke ujung. Kita hanya bisa memilih yang paling tipis tumpukan kerikilnya. Biasanya di pinggir atau di bagian bekas jalan roda mobil.

Masalahnya, bersepeda sambil melihat di mana kerikil tinggi atau tidak itu adalah tantangan buat yang awam seperti saya. Kalau asal gowes saja tidak mempedulikan permukaan, sepeda bisa selip karena ban depan terbenam di antara tumpukan kerikil yang cukup tinggi.

Masih bisa diatasi, pikir saya. Aman.

Kilometer makin bertambah, ketika menuju kilometer 50, rute sudah menyuguhkan tanjakan-tanjakan. Katanya, negara bagian Kansas itu flat. Tapi pas sepedaan tidak seperti itu. Tanjakan 5-10 persen, bahkan lebih, terus menyapa di depan.

Yang jadi pe-er adalah tanjakan-tanjakan itu penuh kerikil. Saya takut ban gembos karena batunya makin besar-besar. Saya juga khawatir kalau terlalu main power, kerikil akan semburat dari bawah ban dan membenamkan sepeda. Orang-orang di depan kita juga bisa tiba-tiba turun dari sepeda atau jatuh karena selip.

Makin siang, matahari semakin tinggi dan semakin panas. Di musim panas, matahari betah mejeng sampai jam 9 malam. Jadi, sepanjang event saya praktis di bawah terik matahari secara konstan. 

Anginnya luar biasa keras. Data lomba bilang konstan 30-50 km/jam, kebanyakan menerpa dari depan. Dan itu sangat terasa, karena di medan event ini nyaris tidak ada pohon atau bangunan bisa yang melindungi.

Pada kilomerter 70-an, saya mulai berpikir. Untung nggak ikut yang 200 mil. Karena 100 saja saya terancam nggak bisa finis ini. Saya terlalu meremehkan medannya.

Siksaan semakin terjadi setelah pit Stop. Untuk kelas 100 mil, hanya ada satu pit stop, di Council Grove, kilometer 90-an. Jadi, untuk mencapai finis, saya sebenarnya hanya butuh 70-an km lagi.

Setelah pit stop itu, saya pede melanjutkan perjalanan. Tas punggung saya sudah penuh air. Botol minum sudah penuh semua. Menurut saya akan cukup sampai finis.

Ternyata saya salah total. Setelah pit stop, panas matahari berada di angka maksimalnya. Data lomba bilang 32 hingga 37 derajat Celcius, dan panas kering. Angin juga terus berhembus keras. Tanjakannya tak pernah putus. Bahkan, kita bisa melihat tanjakannya seperti tangga di tengah gurun.

Hanya dalam 20 km, air minum saya sudah hampir habis. Saya harus menghemat sisanya.

Perjalanan itu tetap harus saya lewati. Naik bukit terus kilometer demi kilometer. Hingga akhirnya 10 km sebelum finis, saya sudah hampir tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Untung ada warga yang menyediakan air minum gratis untuk peserta. Banyak yang mampir ke rumahnya untuk minta air minum kemasan yang mereka sediakan.

Saya minum dua botol di tempat, lalu membawa tiga botol.

Walau bisa melanjutkan perjalanan, kecepatan sangat pelan karena kaki sudah sakit sekali. Dalam 10 km itu saya harus berhenti setidaknya dua kali untuk istirahat dan minum. Hingga akhirnya sampai di finis, air saya habis dan badan saya sudah benar-benar habis. Untuk berdiri saja nyaris tidak bisa. Saya harus dipapah oleh John dan Chris Mohn, orang tua angkat Om Azrul waktu SMA dulu di Kansas.

Secara keseluruhan, rute gravel ini menyenangkan awalnya. Lalu melelahkan hingga akhirnya membuat trauma. Setiap kali mendengar suara ban di atas pasir atau kerikil, grosak-grosak-grosak, otomatis otot kaki saya terasa perih dan enggan meneruskan perjalanan.

Tapi yang penting event ini sudah berlalu. Ikut lagi atau tidak... Nanti saja dibahasnya. Izinkan saya ke psikiater dulu untuk menghilangkan trauma suara ban di atas kerikil itu. Sekian... (johnny ray)

Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 45

Audionya bisa didengarkan di sini

Foto: Emka Satya (DBL Indonesia)


COMMENTS