Setelah Tiga Tahun, Akhirnya Ikut Dirty Kanza

Awal Juni ini, saya bersama dua sahabat berada di Amerika Serikat, berpartisipasi di Unbound Gravel alias Dirty Kanza, ajang gravel racing terbesar dunia. Saya bersama John Boemihardjo, partner saya founder Wdnsdy Bike, serta Johnny Ray, partner saya yang kocak di podcast Mainsepeda.

Tidak terasa, sudah dua tahun lebih kami menantikan ini. Bahkan buat saya sudah tiga tahun. Sejak 2018 sudah berusaha mendaftar. Tidak mudah untuk ikut event di Kota Emporia, di negara bagian Kansas ini. Jumlah peserta dibatasi tidak sampai 3.000 untuk seluruh kategori. Sementara peminat dari seluruh dunia. Kami bertiga baru diumumkan "lolos lotere" pada akhir 2019, dinyatakan boleh ikut untuk edisi 2020.

Ada beberapa rekan lain dari Indonesia juga mendaftar, tapi tidak lolos pendaftaran.

Saya dan John Boemihardjo akan ikut kelas utama, yaitu yang 200 mil (tepatnya 206 mil) alias 322 km. Harus dituntaskan dalam 21 jam. Sedangkan Johnny Ray ikut yang 100 mil alias 160 km. Ada beberapa kelas lain, termasuk yang paling panjang, kelas XL alias 350 mil alias 560 km, yang harus tuntas dalam 36 jam.

Karena pandemi, event 2020 itu sempat diundur beberapa bulan. Pada akhirnya dibatalkan. Peserta boleh mundur dan dapat refund, atau geser ke tahun berikutnya. Kami memilih tetap ikut walau mundur. 

Event ini termasuk dalam bucket list utama saya pribadi. Setelah kurang lebih sepuluh tahun menekuni hobi ini, memang ada beberapa hal yang ingin saya lakukan/capai. Gowes di rute sambil menonton semua Grand Tour (termasuk Tour de France) sudah tuntas antara 2012-2016. Ikut event gran fondo climbing terkondang sedunia juga sudah, yaitu Maratona dles Dolomites di Italia pada 2017. Seru juga terus naik turun gunung bersama 10 ribu peserta!

Nah, dalam beberapa tahun terakhir, saya makin minat dengan Dirty Kanza, yang sekarang ganti nama jadi Unbound Gravel itu. Event ini benar-benar merevolusi dunia sepeda. Mulai dari penyelenggaraan event sampai "melahirkan" kategori sepeda baru yang kini booming.

Kebetulan, saya dulu SMA di Kansas. Tepatnya di kota kecil Ellinwood, hanya sekitar dua jam naik mobil dari Emporia, tempat diselenggarakannya Unbound Gravel. Jadi ikut event ini ada elemen pulang kampungnya. Sekaligus mengunjungi ayah dan ibu angkat saya di Kansas. Mereka sekarang tinggal di Lawrence, hanya satu jam dari Emporia.

Kemudian, event ini menunjukkan kalau sebuah kota kecil bisa jadi mendunia kalau bisa memaksimalkan potensi daerahnya.

Tidak ada apa-apa di Kansas. Di sekitar Emporia "hanya" ada ratusan kilometer rute tak beraspal, melewati kerikil-kerikil tajam Flint rock. Kerikil-kerikil yang dulu dibuat suku pribumi Amerika sebagai mata panah untuk berburu.

Kemudian, pada 2006, komunitas lokal bikin event di situ. Pesertanya hanya ratusan. Menaklukkan rute menantang itu sejauh 200 mil. Tanpa pengawalan, tanpa support, tidak boleh manja sama sekali.

Sepeda yang dipakai masih seadanya. Ada yang pakai MTB, ada yang pakai sepeda cyclocross.

Event itu terus meraih popularitas. Hingga jadi seperti sekarang, saat ribuan orang dari berbagai penjuru dunia datang ke Emporia. Peserta bukan hanya penghobi. Sekarang, para pembalap profesional kelas WorldTour ikut turun gunung berlaga di Unbound Gravel.

Kategori gravel bike pun muncul dengan berbagai pernak-perniknya. Sebuah sepeda yang berbasis road (dengan handlebar lekuk), namun bisa dipasangi ban besar untuk menaklukkan rute berat. Kategori sepeda yang allroad, yang cukup beli satu sepeda untuk segala medan. Kategori yang penjualannya mendominasi pasar. Khususnya di Amerika, di mana disebut 60 persen penjualan sepeda sekarang adalah kategori gravel ini.

Ikut event ini akan jadi tantangan baru. Dalam beberapa bulan ini, kami harus "dekonstruksi" konsep di kepala kami tentang sepeda balap. Mulai jenis ban, tipe gearing, dan bagaimana fokus latihan ke pacing. Bukan sekadar makin cepat, harus membangun basic endurance, betah pada power tertentu.

Enaknya, bagi saya, event ini tidak menuntut kami untuk adu kurus. Saya ingat betapa tersiksanya latihan dan diet sebelum Maratona dles Dolomites dulu. Saat berat badan harus turun banyak, maksimal 70 kg buat saya.

Sekarang (enak) tidak perlu diet. Yang penting membangun ketangguhan badan. Berat saya masih 75 kg sebelum berangkat, tapi power dan endurance lebih baik.

Memang harus betah di Unbound Gravel. Selain tidak ada support dan pengawalan, kami harus mampu bertahan dengan minimal pit stop. Nanti, pit stop pertama baru dicapai pada km 111, di Kota (desa) Alma. Lalu, hanya ada water station (isi air putih) pada km 207. Pit stop kedua alias terakhir ada di km 256, di Council Grove. Setelah itu harus tahan sampai finis di km 322, kembali di Emporia.

Bantuan mekanik dan feeding hanya boleh dilakukan saat pit stop resmi. Jadi kalau ada masalah di jalan harus diatasi sendiri.

Untuk persiapan, dalam dua bulan terakhir kami berkali-kali gowes di atas 200 km, bahkan di atas 300 km dalam sehari. Setiap kali latihan, jumlah pit stop dan durasinya dibuat seefisien mungkin.

John Boemihardjo termasuk paling intens. Dua minggu sebelum berangkat dia tiga kali menempuh rute di atas 300 km. Termasuk saat mengurusi usahanya di Kalimantan. "Rute di Kalimantan, walau aspal, termasuk berat. Karena angin kencang jarang pepohonan," ujarnya.

John juga sangat penasaran dengan event ini. Dia dulu kuliah di Seattle dan sempat lama tinggal di kawasan Los Angeles. Semua di Pantai Barat. Dia juga sangat familiar dengan kawasan Pantai Timur. Ini kali pertama dia bisa bertualang di kawasan Midwest (tengah) Amerika.

Johnny Ray, walau "hanya" ikut yang 100 mil, juga ikutan latihan jauh-jauhan ini. Perjalanan ini adalah pengalaman pertamanya di Amerika.

Johnny Ray, Azrul Ananda, dan John Boemihardjo

Kami bertiga punya target beda-beda di Unbound Gravel 2021 ini. John yang paling kuat menarget finis dalam 12-13 jam. Sebagai catatan, rekor tercepat diraih oleh juara 2019, Colin Strickland, yang menuntaskan rute 322 km itu dalam waktu 9 jam dan 58 menit.

John menyetel sepedanya full gravel racing. Frame Wdnsdy Journey Titanium dengan full Enve gravel parts, termasuk wheelset Enve G23 yang dirancang untuk jalanan kasar. Dia memasang "tanduk" alias TT extension. Tujuannya dua. Satu untuk lebih aerodinamis dan cepat di rute yang banyak panjang lurus. Ya, walau jalanan kasar, banyak bagiannya masih tanah padat dan lurus panjang. Sangat banyak peserta, termasuk para unggulan, memakai TT extension

Alasan kedua, tanduk itu juga bisa membantu "istirahat" pundak dan punggung. Beban badan pindah ke siku, bukan ke lengan dan bahu. Untuk rute 322 km, variasi posisi tentu bisa menguntungkan.

Sedangkan saya hanya ingin finis dengan baik. Idealnya finis di bawah 15 jam, supaya bisa masuk kategori "Beat The Sun" alias finis sebelum matahari terbenam. Event ini berlangsung di awal musim panas, jadi matahari terbenam sekitar pukul 21.00 (start event jam 6 pagi).

Secara realistis, finis 15-17 jam saya masih akan puas. Itu berarti masuk kategori "Midnight," yaitu untuk mereka yang finis sebelum tengah malam. Yang penting jangan finis setelah tengah malam, karena itu dicatat sebagai finisher kategori "Breakfast" alias sebelum makan pagi. Batas waktu yang diberikan 21 jam, alias maksimal harus finis sebelum pukul 3 pagi.

Johnny Ray? Dia paling tenang di antara kita... Saat dia finis, kami belum mencapai 2/3 lomba... (azrul ananda/bersambung)

Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 43

Audionya bisa didengarkan di sini

Foto: UNBOUND Gravel


COMMENTS