Kolom Sehat: Gravel di Jalan Aspal

Baru-baru ini saya berkesempatan menjajal sepeda titanium keluaran Wdnsdy. Yaitu Journey Titanium, alias sepeda gravel. Saya tidak berharap banyak, karena begitu selesai dirakit beratnya 9 kilogram. Dengan sepeda ringan saja (6-7 kg) saya sering kewer, apalagi dengan yang 9 kg. Memang, berat badan saya turun sekitar 2 kg sejak Desember, tapi bukan berarti bisa ditukar begitu saja dengan berat sepeda.

Frame gravel itu dipadu dengan grupset gravel juga. Yaitu Campagnolo Ekar. Ini termasuk baru. Depannya single chainring 44t, belakangnya 13-speed, sproket 9-42.

Sebenarnya, sepeda gravel itu peruntukannya untuk jalanan alternatif. Jalan makadam, berbatu, bahkan benar-benar offroad. Karena saya belum menemukan jalan-jalan itu, saya pun memakainya di aspal. Memasang ban road, Continental GP4000 IIs ukuran 28 mm, pada wheelset Shamal disc brake. Belum banyak wheelset bisa dipasangi sproket terbaru Campy itu, jadi saya sementara harus pakai yang ini dulu.

Saat kali pertama memakai sepeda ini di loop aspal yang rutin saya lewati, niatnya hanya sebentar saja. Saya tidak yakin bisa ikut kecepatan peloton yang ada. Ternyata, saya masih bisa ikut peloton yang sopan. Besoknya saya coba lagi, ikut yang lebih cepat. Ternyata masih bisa. Walau kaki tentu terasa lebih berat dan menuju kewer.

Rupanya, banyak yang memperhatikan. Apa frame titan itu cukup cepat? Apa grupset 1x (single chainring) itu bisa untuk road bike? Apa sepeda gravel bisa mengikuti peloton di jalan aspal?

Masih penasaran, akhirnya saya coba bawa sepeda titan ini ikut teman-teman ride campuran jalan datar dan tanjakan. Dengan jarak pulang pergi 140 km, menanjak total 1.100 meter, walau gradien relatif sopan hanya sedikit yang di atas 10 persen.

Ternyata, masih bisa juga! Tapi tentu ada catatan yang harus diperhatikan.

Frame titanium memang terasa lebih empuk dan nyaman, tapi tetap responsif. Karena ini sepeda gravel, head tube-nya dibuat lebih tinggi dari road bike biasa. Memaksa posisi duduk kita lebih "tegak" dari road bike biasa. Kenyamanan lebih diutamakan, mengingat sepeda ini untuk melewati jalanan tidak normal.
Ternyata, gaya bersepedanya sedikit beda dengan road bike biasa. Bobot sedikit lebih membuat sepeda ini tidak terlalu sensitif kena hembusan angin samping. Ban yang lebih lebar juga meningkatkan kenyamanan. Ini sepeda sangat nyaman kalau melaju di kecepatan 35-40 km/jam.

Bagaimana di tanjakan? Di bagian yang tidak terlalu curam, kawasan Pandaan, Pasuruan, di mana kecepatan "climb" menjadi tinggi, saya memang tidak sanggup mengikuti. Tapi ingat, saya biasanya juga tidak bisa mengikuti dengan sepeda apa pun! Wkwkwkwk... Jadi sama saja!

Kemudian tanjakan yang lebih panjang, merambat menuju Lawang, lalu naik lagi ke Kebun Teh Wonosari, ternyata saya tidak parah-parah amat. Malah saya bisa mengejar teman saya, seorang dokter tulang belulang. Mungkin bukan karena cepat, mungkin karena dianya yang sedang teler, tapi yang penting saya mengejar!

Saat pulang yang banyak turunan dan datar, saya memang copot dari grup depan, tapi masih punya teman di sekitar. Jadi, ini prestasi cukup bagus buat saya!

Kesimpulannya, sepeda gravel tetap bisa dipakai di jalan raya. Dan memang, sepeda gravel itu lebih tepat disebut sebagai sepeda allroad alias sepeda segala medan. Satu sepeda untuk segala kebutuhan. Bagi yang hanya ingin punya satu sepeda saja, ini alternatif yang baik. Toh juga bisa dipasangi grupset road normal dengan dua chainring di depan.

Semoga, setelah ini saya bisa mencoba sepeda ini di medan yang lebih berat, di mana dia sebenarnya diperuntukkan... (johnny ray)

Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 35

Foto: @motretsport


COMMENTS