Kolom Sehat: Alat Ukur dan Tolok Ukur

 

Dunia sepeda sekarang sudah tidak lagi kuno. Seperti jamannya, dunia sepeda sudah sangat canggih. Walau sepeda itu dari jaman Fausto Coppi sampai jaman Jonas Vingegaard sekarang ini ya masih sama. Rodanya dua dan kudu dikayuh.

Kalau dikasih motor itu namanya sepeda motor. Kalau dikasih dinamo namanya jadi sepeda listrik. Sudah bukan sepeda lagi. Jadi sepeda itu sejatinya dipancal, dikayuh

Tapi walau sama-sama dikayuh, sekarang sudah jauh beda. Sudah banyak alat tambahan atau gadget yang menambah sepedaan itu semakin terukur dan semakin banyak data yang bisa menjadi tolok ukur bagaimana peforma sepedaan kita.

Contoh alat ukur yang saya maksud, heart rate monitor, power meter, wind speed meter, speed sensor, cadence sensor, termometer, dan lain-lain. Tolok ukurnya pun beraneka ragam. Satuan dan pendekatan alat monitor detak jantung mempunyai tolok ukur seberapa cepat jantung kita berdegup dalam semenit. Itu pun masih terbagi dalam zona-zona, di mana zona-zona ini berbeda dari tiap individu ke individu yang lain.

Kali ini saya fokus ke heart rate monitor (HRM) dulu sebagai alat ukur yang saya bahas lebih dalam. HRM adalah hal yang sangat lumrah ditemui di kalangan pesepeda. Apa fungsinya? Untuk mengetahui degup jantung anda ketika berkendara. Bentuknya ada yang dikaitkan di dada, di tangan atau bahkan ada yang dalam bentuk jam.  

 

Ada perbedaan cara melihat alat ukur dan tolok ukur alat ini. Pertama, aliran yang ingin cepat, yang ingin berprestasi. Aliran ini akan berusaha sedemikian rupa agar bisa menjaga effort mereka di atas zona dua (zona stabil/endurance, 60-70 % dari max degup per menit ). Kalau bisa effort-nya akan maximal sampai batas maksimum degup yang bisa dicapai alias zona lima lalu ditahan disana selama mungkin. Jadi bila yang ditunjukkan itu kurang mentok, maka usaha mancalnya harus ditambah sampai angka yang terbaca maksimal.

Sedangkan kalau saya memakai alat pengukur jantung ini sebagai batas atas effort. Jadi kalau saya capek dan saya lihat angkanya cukup tinggi maka saya merasa sah untuk mengurangi kecepatan. Olahraga itu pasti kental dengan usaha untuk mencapai prestasi, memacu jantung sampai batas kekuatannya adalah hal yang lumrah terjadi. Tapi jangan dilupakan kalau alat ukur dan tolok ukurnya ini juga dibuat untuk membuat sebuah batas, agar kita tahu bahwa kita sudah melewati batas kekuatan diri.

Bagaimana pembaca tahu batas diri masing-masing? Kadang batas itu tidak untuk diuji, kadang batas itu perlu didorong sedikit bertambah lebar, semua kembali ke masing masing individu dengan segala konsekuensinya. Yang penting tetaplah berolahraga agar sehat. Sekian. (*)


COMMENTS