Catatan Azrul Ananda: Naik Sepeda Indonesia

Cycling is an amazing sport. Saya sudah merasakannya selama sekitar 12 tahun. Lewat event-event, lewat podcast Mainsepeda, lewat tulisan-tulisan, salah satu tujuan saya adalah untuk membuat olahraga ini semakin dikenali, semakin dipahami oleh banyak orang.

Cycling bukan sekadar gaya-gayaan, dandan keren-kerenan, untuk foto-fotoan. Cycling itu membuat kita lebih mengenali diri sendiri, lebih memahami batasan diri sendiri. Cycling juga membuat kita lebih mengenal banyak orang, lebih mengenal lebih banyak tempat-tempat indah, lebih berani meng-eksplore tempat-tempat yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya.

Seperti salah satu ucapan saya yang lumayan viral di kalangan pesepeda: Anda memilih olahraga sepeda. Ini bukan olahraga yang mudah.

Batasan limit manusia Indonesia itu baru saja kita temui pada sosok Dzaki Wardana. Dia baru saja menuntaskan salah satu event ultra cycling terberat di dunia: Trans America Bike Race (TABR). Gowes hampir 6.800 km, menanjak total lebih dari 50 ribu meter, membelah negara Amerika dari pantai barat ke pantai timur. Start dari Laut Pasifik, finis di Laut Atlantik.

Dzaki, 35, bukan sekadar jadi manusia Indonesia pertama yang melakukannya. Dzaki, yang target awalnya hanya ingin mencapai garis finis sebaik mungkin, pada akhirnya mampu finis di urutan kelima dari 46 peserta yang terpilih. Menuntaskan rute dalam waktu 20 hari dan 18 jam. Sehari gowes rata-rata 320 km, melewati medan dan cuaca yang sangat menantang.

Yang membanggakan, Dzaki menuntaskannya dengan "senjata-senjata Indonesia" juga. Menggunakan sepeda Wdnsdy (baca: Wednesday), apparel dari SUB Jersey, plus suport nutrisi dari Strive, Antangin, dan Herbamojo.

Sejak 2012 lalu, ketika saya mulai kecanduan traveling bersepeda, saya berkali-kali menyampaikan ini: Jauh lebih membanggakan bisa menggunakan produk-produk brand Indonesia sendiri.

Pada 2012 itu, ketika saya mulai benar-benar "klik" dengan hobi sepeda, saya punya target bepergian jelas: Menyaksikan dan menjajal rute lomba paling bergengsi di dunia. Yaitu Tour de France. Saya waktu itu janjian dengan sahabat saya, Prajna Murdaya, yang sama-sama kecanduan hobi ini.

Tahun itu, kemampuan gowes kami masih sangat lemah. Bisa gowes 50 km sehari sudah senang luar biasa. Menanjak pun masih asal gowes. Belum paham betul apa itu gradient, elevation gain, dan pengkategorian tanjakan! Pokoknya pergi dan gowes, sambil nonton para bintang WorldTour!

Waktu itu, kami juga punya kemauan sama: Ke Prancis naik sepeda merek Indonesia. Walau sama-sama sudah punya merek luar yang tenar, kami sama-sama pesan Polygon. Pesan yang paling "mentok" waktu itu. Kami pesan Polygon Helios 900X karbon dengan komponen termutakhir waktu itu: Shimano Dura-Ace Di2 electronic shifting. Edisi pertama yang masih 10-speed.

Frame-nya kami cat custom sendiri. Milik saya menggunakan kombinasi hijau dan biru, ala mobil Formula 1 favorit saya, Jordan 191. Prajna memilih kombinasi hijau dan hitam, warna salah satu perusahaannya waktu itu.

Pergilah kami ke Prancis. Bersama beberapa sahabat lain. Berbasis di Kota Pau, kami menjajal rute-rute Tour de France di kawasan pegunungan Pyrenees. Sambil menonton lomba, yang beberapa etapenya juga di kawasan itu.

Seru juga, walau kami belum sadar betapa lemahnya kami waktu itu (wkwkwkwk). Kami diajak ke beberapa tanjakan kondang. Seperti Col de Marie Blanque, juga Col d'Aubisque. Butuh berjam-jam untuk menuntaskan masing-masing tanjakan, dengan cuaca musim panas yang menyengat.

Salah satu foto yang akan saya terus simpan: Berpose di penanda puncak Col d'Aubisque bersama Prajna. Bersama sepeda Polygon kami. Karena sampai hari itu, tanjakan itulah terberat dalam hidup kami. Catatan, saya waktu itu belum kenal tanjakan Bromo!

Tahun 2012 itu, kami juga dapat akses bersepeda melewati rute penutup Tour de France yang legendaris. Pada pagi hari, sebelum etape penutup (21), kami diperbolehkan gowes mengelilingi Champs Elysees. Jalan paling terkenal di Paris, yang dalam setahun hanya ditutup dua kali. Salah satunya untuk Tour de France.

Tidak terasa, itu sudah 11 tahun yang lalu!

Sampai hari ini, saya masih menyimpan frameset Polygon Helios 900X tersebut. Bahkan sempat bertahun-tahun saya pajang di Wdnsdy Cafe di Surabaya. Prajna juga masih menyimpan full bike-nya, di tengah-tengah puluhan koleksi sepeda kerennya!

Obsesi naik sepeda brand Indonesia itu makin menjadi pada 2017, setelah saya mendirikan Wdnsdy Bike bersama John Boemihardjo. Sebuah perusahaan hobi, perusahaan kecil, yang memenuhi obsesi kami tentang sepeda dan segala tantangannya.

Pada 2017, pada hari ulang tahun saya ke-40, saya dan sejumlah sahabat menanjaki Passo dello Stelvio di Italia. Itu adalah salah satu tanjakan terindah di dunia, dengan ketinggian lebih dari 2.700 meter. Naik sepeda Wdnsdy.

Baca Juga: Gowes di Passo dello Stelvio, Tanjakan Paling Indah Dunia

Pada 2018, saya John, dan CEO SUB Jersey Bagus Ramadhani menanjak ke Independent Pass di Colorado, di ketinggian lebih dari 3.600 meter. Sekaligus datang ke event Colorado Classics, karena waktu itu Wdnsdy Bike mensponsori tim balap profesional Amerika, Point S Nokian.

Salah satu puncak kebahagiaan pribadi adalah pada 2022. Saat saya, John, Bagus, Edo Bawono (founder Strive), istri serta sahabat lain mampu mengikuti dan menuntaskan event gravel paling bergengsi di dunia: Unbound Gravel di Kansas.

Saya mewujudkan impian pribadi, menuntaskan rute 200 mil (320 km), setelah setahun sebelumnya gagal. John dan Edo sukses menaklukkan tantangan terberat event tersebut: Finis 200 mil sebelum matahari terbenam (Beat The Sun).

Kami naik Wdnsdy Journey KS, sepeda aero gravel serbaguna. Yang kemudian tahun ini ditunggangi Dzaki Wardana finis di urutan lima Trans America Bike Race.

Sekarang, tinggal menunggu tantangan-tantangan berikutnya, impian-impian "bucket list" selanjutnya. Dan alangkah ekstra bangganya ketika bisa menaklukkan rute-rute atau event-event impian itu menggunakan produk brand Indonesia sendiri! (azrul ananda)


COMMENTS