Tanjakan Neraka Itu Bernama Zoncolan

Di dunia ini ada banyak hal yang dianggap paling menyakitkan. Ada sakitnya putus dengan pasangan. Tapi lantas ada yang bilang, ke dokter gigi itu lebih sakit daripada sakit hati. Nah, bagi cyclist sedunia, ada yang lebih sakit dari pada sakit hati dan sakit ke dokter gigi. Yaitu sakit mencoba menaklukkan tanjakan bernama Monte Zoncolan!

Monte Zoncolan, di Italia, disebut-sebut sebagai tanjakan paling berat di Eropa. Lebih berat dari Alto de Angliru di Spanyol. Bukan hanya berat, banyak yang menyebutnya “sadis”!

Tahun 2018 ini, tepatnya Sabtu, 19 Mei, Monte Zoncolan kembali menjadi menu besar Giro d’Italia, salah satu lomba terbesar dunia. Berarti, enam kali ini Zoncolan ditampilkan. Kali terakhir dilewati lomba pada 2014, saat Michael Rogers (Saxo-Tinkoff) menang, dan Nairo Quintana (Movistar) mengunci gelar Giro tahun itu.

Nairo Quintana mengunci gelar juara Giro d'Italia 2014 di Monte Zoncolan.

 

Pada 2014 itu pula, saya dan beberapa teman cyclist se-Indonesia sempat merasakan kejamnya Zoncolan. Sebagai menu terakhir dari tur seminggu kami di Italia tahun itu.

Zoncolan berada di kawasan Carnic Alps, utara Italia. Kami menginap di Ovaro, kota terdekat tanjakan itu. Saking dekatnya, baru gowes 2 km dari hotel sudah langsung berada di kaki tanjakan. Sudah ada tulisan menyambut bertuliskan “Monte Zoncolan.”

 

Ya, hari itu kami hanya dijadwalkan naik ke Zoncolan, lalu kembali turun ke hotel, lalu jalan kaki kembali ke Zoncolan. Kenapa? Karena hari yang sama Giro d’Italia akan melewatinya. Jadi, kami harus naik pagi-pagi dan balik sebelum jalan ditutup. Kemudian setelah ganti baju jadi bagian dari kehebohan lomba, sorak-sorak di pinggir jalan.

Sebelum ke Zoncolan, kami sudah diberi warning oleh para guide. Mereka bilang, jalannya hanya 10 km ke puncak, tapi sempit. Jadi mobil support tidak akan bisa mendampingi. Pastikan bawa makanan dan segala kebutuhan di kantong atau tas sepeda.

Dan pagi itu ada banyak orang jalan naik ke atas, juga ada banyak mobil panitia Giro naik ke atas. Di tengah keramaian itu, kita harus secepatnya mencapai puncak.

Mulanya, kami pikir, toh hanya 10 km. Ya, Zoncolan bakal berat. Tapi kan hanya 10 km!

Alangkah salahnya kami…

Profil tanjakan Monte Zoncolan.

 

Sepuluh km Zoncolan itu rata-rata miringnya 11,9 persen, menanjak 1.210 meter. Tapi angka itu agak “berbohong.” Tanjakan ini bisa dibilang terbagi dalam tiga bagian. Dua km pertama masih “normal,” kemiringan maksimal 12 persen. Berat, tapi tidak membunuh.

Dua km terakhir pun kurang lebih sama.

Yang menyebalkan, 6 km yang ditengah. Bagian tengah ini rata-ratanya hampir 16 persen!

Kapan bagian menyebalkan ini dimulai? Gampang, karena ada tandanya. Warga setempat membuat gapura khusus untuk menakut-nakuti orang yang ingin menanjak. Gapura itu ditulisi: “La porta dell’inferno.” Artinya: Pintu neraka.

 Edwin Djunaidi Rachman (kiri) dan Hadi Wibowo di depan "pintu neraka".

 

Dan itu nama yang benar-benar pas, karena setelah itu kemiringannya hampir selalu di atas 15 persen, berkali-kali menembus 22 persen.

Pada 2014 itu, kemampuan climbing saya belum seperti sekarang. Kecepatan saya di bagian tengah Zoncolan selalu di kisaran 5-7 km/jam. Ketika ada belokan bisa bernapas, karena itu bagian paling “datar.” Banyak cyclist lain berhenti di belokan, bersandar di dinding tebing.

Di bagian curam, saya dan teman-teman harus zig-zag. Maklum, kebanyakan kami memakai kombinasi depan ring 34 dan belakang 28. Padahal, banyak pembalap dunia memakai gir 32 di belakang!

Saya jujur berhenti tiga kali. Sekali karena zig-zag-nya tidak pas, terganggu pejalan kaki yang jumlahnya begitu banyak. Kedua karena ada mobil panitia mau naik dan memakan banyak jalan, sehingga saya harus minggir. Yang ketiga, saya sempat ditanya teman kenapa berhenti. Jawaban saya: “Mblenger.” Itu bahasa Jawa, intinya capek!

Prajna Murdaya dengan telaten menaklukkan Monte Zoncolan.

 

Setiap kali berhenti, karena terlalu miring, kami tidak bisa begitu saja naik kembali ke sepeda. Harus menuntun dulu ke belokan yang lebih landai, baru naik sepeda. Saat menuntun itu, saya melihat kecepatan menuntun saya sama cepatnya dengan teman yang gowes di depan!

“Neraka” itu berakhir 2 km sebelum finis. Kaki tiba-tiba bisa berputar lebih ringan. Wah, datar nih! Eh, ternyata masih miring. Tapi miringnya “hanya” 10 persenan.

John Boemihardjo harus zig-zag dan berbagi jalan dengan pejalan kaki dan pesepeda di jalan yang sempit untuk mencapai puncak Monte Zoncolan.

 

Luar biasa, saking beratnya Zoncolan, jalan 10 persen jadi terasa datar! Dan itu komentar salah satu teman kami asal Singapura. Dia bilang: “Di Zoncolan, 20 persen itu tanjakan, 15 persen itu datar, 10 persen itu turunan!”

Bisa dibayangkan betapa bahagianya mencapai puncak Zoncolan, walau sebenarnya total hanya gowes sekitar 10 km! Ketika sampai, jalan sudah mulai ditutup, jadi kita harus bandel memaksakan diri ke puncak, bisa berfoto dengan gapura finis Giro d’Italia, dan papan tulisan penanda puncak Monte Zoncolan.

Ferry Martallata bangga berfoto di depan gate finis Monte Zoncolan.

 

Setelah itu, harus cepat-cepat turun.

Saat turun ini, kami menyadari betapa curamnya Zoncolan. Seram melihat ke bawah. Jadi saat turun, kami harus berhenti di setiap kelokan. Turun, berhenti. Turun, berhenti. Turun, berhenti.

Walau turunnya sebentar-sebentar, ada teman-teman kami yang wheelset karbonnya kepanasan sampai berubah bentuk!

Sampai hotel, lega semua selesai. Ini 20 km paling menyakitkan. Kami ganti baju, jalan kaki lagi ke Zoncolan untuk nonton lomba. Kebetulan ada kawasan di kaki tanjakan yang dijadikan ajang pameran sponsor-sponsor Giro d’Italia, jadi bisa lihat-lihat dan sedikit (ehm!) shopping.

Saat menonton lomba, kami pun jadi takjub. Para pembalap WorldTour seperti tidak kesulitan menanjak Zoncolan! Mereka masih melaju di kisaran 15 km/jam, menuntaskan tanjakan dalam waktu 40 menitan. Dan itu setelah sebelumnya melaju lebih dari 100 km.

Saya sendiri butuh 2 jam untuk menuntaskan 10 km neraka itu, dan pada dasarnya hanya gowes total 20 km naik-turun!

Apresiasi kami terharap balap sepeda, khususnya kepada para pembalapnya, jadi melonjak berlipat-lipat setelah hari itu!

Tahun 2018 ini, tepatnya Sabtu, 19 Mei, Monte Zoncolan kembali jadi neraka bagi para pembalap Giro d’Italia. Simon Yates, Tom Dumoulin, Chris Froome, Fabio Aru, Domenico Pozzovivo, dan lain-lain akan adu kesaktian menanjak jalanan supercuram.

Tak sabar rasanya ingin menonton aksi mereka di layar kaca atau monitor. Sambil mengingat kembali sakitnya menanjak Monte Zoncolan! (azrul ananda)

 


COMMENTS