Richie Porte Butuh 6 Menit, Saya 15 Menit (Wkwkwk...)

Tour Down Under (TDU) 2020 baru saja berakhir. Minggu lalu (26/1), Richie Porte berhasil mengunci gelar overall setelah finis kedua di Willunga Hill, tanjakan penutup lomba pembuka WorldTour tersebut.

Walau gagal memenangi tanjakan itu untuk kali ketujuh berturut-turut, Porte mampu mencatat waktu spektakuler. Lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Paling tidak, menurut data di Strava.

Menurut segmen "Old Willunga Hill" di Strava, segmen sepanjang 3 km dengan kemiringan rata-rata 7 persen, Porte melahapnya dalam waktu hanya 6 menit dan 34 detik. Sekitar setengah menit dari waktunya pada TDU 2019.

Lebih cepat karena pada Minggu lalu Porte dalam posisi mengejar barisan breakaway. Sedangkan tahun lalu dia lebih berada di depan, mengontrol kecepatan para pesaing.

Itu catatan waktu yang "tidak manusiawi." Karena itu berarti Porte melaju dengan kecepatan rata-rata 27,4 km/jam.

Sebagai perbandingan, ehm, saya akan menggunakan waktu terbaik saya. Yaitu waktu mengunjungi Adelaide bersama beberapa teman cyclist, 2017 lalu. Waktu terbaik kami waktu itu 15 menit dan 18 detik. Kecepatan rata-rata sekitar 12 km/jam.

Ya, saya bukan pembalap profesional. Saya juga bukan jagoan di kelompok umur saya. Tapi saya termasuk lumayan. Dan pada 2017 itu saya termasuk masih sangat kuat.

Namun, itulah bedanya pembalap kelas WorldTour dengan manusia biasa seperti saya. Bedanya jauh sekali.

Kalau dilihat sekilas, segmen Old Willunga Hill memang tidak seperti tanjakan mengerikan. Panjang hanya 3 km. Bagi yang mengerti sepeda, kemiringan rata-rata 7 persen juga tidak mematikan. Ketika dilewati, kira-kira pembagiannya begini. Kilometer pertama di kisaran 9 persen, kilometer berikutnya di kisaran 7 persenan, lalu kilometer penutup 5-6 persenan.

Kalau ini tanjakan gunung "normal," para pembalap mungkin akan lebih bersabar menanjakinya. Tapi karena ini pendek, maka mereka pun tancap gas dari awal, dan makin tancap gas di akhir yang lebih landai.

Porte sendiri terkenal selalu melakukan dua akselerasi di Willunga Hill. Sekali untuk melarikan diri, sekali lagi untuk semakin melarikan diri.

Bagi manusia-manusia biasa seperti saya dan teman-teman, kenangan menanjak Willunga Hill itu sangat terkesan sampai sekarang. Terkesan karena total jarak dan suhu luar biasa panas.

Saya dua kali ke sana, pada 2015 dan 2017. Tahun ini tidak sempat. Jaraknya dari Adelaide memang tidak bisa dibilang dekat. Butuh sekitar 120-140 km perjalanan pp untuk gowes ke Willunga Hill.

Harus ke kawasan perkebunan anggur McLaren Vale, baru menuju Willunga Hill. Tidak ada apa-apa di sana. Murni terkenal gara-gara Tour Down Under.

Waktu 2017 saya ke sana bareng John Boemihardjo, Arie Rafindo, Tonny Budianto, dan Yohannes Tekno (Yoyo Solo). Enaknya di kawasan Adelaide, menuju Willunga Hill hampir selalu menggunakan bike path, terpisah total dari jalanan mobil. Baru ketika masuk McLaren Vale dan Willunga kami ikut jalan normal.

Waktu itu, panasnya minta ampun. Suhu terus di kisaran 40 derajat Celcius. Bahkan sempat mencapai 44 derajat Celcius. Panas dan kering. Sekeliling juga terkesan gersang.

Beberapa kali kami harus berhenti di stasiun bensin, mencari air atau minum elektrolit. Lihat foto-foto kami, seperti orang yang doyan cari susah bukan? Benar-benar kepanasan.

Kalau di jalan dan jauh dari pemberhentian, kami pun mencari dinding atau tempat lain yang bisa disandari. Berlindung dari sinar matahari. Juga berlindung dari angin yang panas.

Saya melihat lagi judul Strava saya hari itu. Saya menulis "The Hottest Ride in My Life."

Oh ya, saya juga baru ingat. Saya juga sempat muntah-muntah begitu sampai di puncak Willunga Hill...

Benar-benar hari yang indah bagi seorang cyclist! (azrul ananda)

 

Foto: Dokumentasi Azrul Ananda dan Graham Watson


COMMENTS