Kolom Sehat: Satu Kilometer Belum Tentu 1.000 Meter

Sejak sekolah dasar, kita tahu kalau satu kilometer sama dengan 1.000 meter. Jarak yang relatif dekat kalau ditempuh dengan bersepeda. Paling tiga menit sudah sampai. Tapi, syarat dan ketentuan berlaku. Itu bisa terjadi kalau jalan tidak macet, serta jalannya datar atau menurun.

Keadaan ini jelas tidak berlaku kalau kita ikut event menanjak. Seperti Bromo KOM Challenge. Ya, event berikutnya masih 14 Maret 2020. Masih empat bulan lagi. Tapi, bagi yang belum pernah, sekarang sudah masuk waktu untuk bersiap-siap. Khususnya persiapan mental. Jangan terlalu takut. Tapi juga jangan menyepelekan.

Yang sudah terlalu lama istirahat, yang cadangan lemaknya menumpuk, dan yang gowesnya untuk makan seperti saya, harus benar-benar siap-siap.

Kenapa di awal saya bicara tentang satu kilometer? Karena kita harus benar-benar punya konsep betapa berharganya satu kilometer dalam sebuah event seperti Bromo KOM Challenge.

Ya, salah satu resep untuk menanjak adalah kita harus tahu seberapa jauh kita menanjak. Kelihatannya simpel, tapi percayalah, orang-orang sering lupa jarak. Bahkan saat sudah menggunakan bike computer.

Kita harus benar-benar punya feeling tentang jarak. Jangan pernah percaya teriakan penonton atau pesepeda lain. Di jalan, kita akan sering mendengar teriakan “Ayo, kurang satu kilo!” Padahal, itu belum tentu benar. Bagi mereka, 1 km beda dengan 1.000 meter. Yang mereka maksud adalah 1 km versi “halu”.

Mengapa mereka begitu? Kadang, mereka tidak tega melihat wajah kita ketika gowes begitu sengsara dan naif. Jarak tanjakan Bromo cukup jauh. Total 25 km dari titik “KOM Start.” Dan pada 15 km terakhirnya termasuk tidak sopan miringnya. Tidak sopan karena saat berada di bagian itu, Anda akan lupa tata krama. Anda akan mengumpat menurut bahasa ibu masing-masing.

Kalau Anda tidak memakai bike computer, maka seringlah melihat ke arah kanan, mencari pal tanda jalan. Wonokitri kurang berapa km tertulis di sana. Itulah petunjuk yang skala km-nya sama dengan yang kita pelajari di sekolah.

“Kurang satu kilo!” mungkin terdengar seperti PHP (pemberi harapan palsu). Tapi, banyak juga pesepeda yang senang di-PHP-in. Karena kenyataan lebih berat untuk diutarakan, jadi ya dijalani aja deh. Bertahan sekuat mungkin. Seperti teman saya bilang: “Pain is temporary, glory is forever.”

Kalau tidak melihat pal jalan, atau sering nge-blank dan lupa melihat pal jalan, maka ada tanda-tanda lain kalau Anda semakin dekat dengan finis. Semakin dekat ke puncak, maka kita bisa lebih sering terhibur oleh cyclist lain sedang menuntun. Atau sedang tergeletak keram. Biasanya, kalau melihat ada orang lain lebih sengsara, kita justru tambah semangat.

Minimal, kita berusaha untuk tidak jadi seperti mereka. Tidak menjadi bahan hiburan cyclist-cyclist lain yang lebih kuat. Kuat itu hasil dari latihan. Tapi rasa tidak ingin malu bisa membuat kita jadi superkuat.

Selamat berlatih dan bersengsara ria sambil bersenang-senang. Ayo, kurang satu kilo lagi! (johnny ray)

Foto-foto: Dewo Pratomo / Dokumentasi Pribadi


COMMENTS