Gowes Dari Tengah Taiwan ke Puncak Wuling (3.275 Meter)

Bagi cyclist, rasanya belum ke Taiwan kalau belum menggapai puncak Wuling di ketinggian 3.275 meter. Tanjakan itu belakangan semakin kondang gara-gara even Taiwan KOM Challenge. Namun, sebenarnya bisa dicapai dari beberapa tempat. Sabtu lalu (19 Oktober), saya dan beberapa rekan menjajalnya dari titik tengah Taiwan, di kawasan Puli.

Ya, jalur paling kondang ke Wuling memang jalur yang dipakai rute Taiwan KOM Challenge. Yaitu dari Hualien di sisi timur. Total jaraknya 100 km dari sisi laut ke puncak. Setiap tahun, banyak pembalap kondang ikut serta. Beberapa teman dari Indonesia, termasuk sahabat kami Edo Bawono, sudah pernah ikut serta.

Tahun ini, saya dan beberapa rekan mengunjungi Taichung Bike Week 2019. Sebuah pertemuan industri sepeda yang berlangsung 16-18 Oktober lalu. Mumpung di Taiwan, kami pun membawa sepeda. Wuling merupakan tujuan utama.

Saya, John Boemihardjo, dan Raymond Siarta (Johnny Ray) dipandu oleh sahabat dari Singapura. Seorang bike fitter profesional, Choonwei Tay. Dia sudah beberapa kali ke Wuling dari berbagai arah.

Karena di Taichung, maka kami tidak bisa menggapai Wuling dari sisi Hualien. Terlalu jauh. Harus naik ke Wuling, turun lagi ke Hualien. Jadi, kami menempuh rute yang tidak kalah menarik, tapi mungkin kalah kondang. Yaitu dari sisi barat, dari kota kecil bernama Puli, di Nantou County.

Biasanya, cyclist di kawasan Taichung menanjak Wuling dari Puli ini. Jaraknya memang lebih pendek menuju Wuling, “hanya” 53 km. Tapi menanjaknya tetap menuju ketinggian 3.275 meter. Karena Puli berada di ketinggian 445 meter, jadi kami harus menanjak lebih dari 2.700 meter dalam jarak hanya 53 km itu.

Dari Taichung, kami naik mobil dulu sekitar 1,5 jam menuju Puli. Baru menurunkan sepeda, bersiap-siap di sebuah mini market 7-Eleven. Sabtu pagi itu, ada banyak rombongan lain juga bersiap-siap di situ.

Ternyata, ada alasan lain mengapa mini market yang satu itu menjadi jujugan start. Rupanya, di sebelahnya ada sebuah taman, serta sebuah batu monumen penting. Batu itu adalah penanda geographical center alias titik tengah Taiwan. Jadi, kami akan menanjak Wuling dari titik tengah negara industri tersebut.

Setelah foto wajib bersama, kami pun start. Choonwei awalnya memandu di depan. Tapi pada dasarnya jalannya luruuuuuus sampai ke puncak. Jangan hiraukan belokan-belokan kecil yang dilalui.

Karena sadar bakal menanjak begitu lama, kami menata kecepatan. Sama sekali tidak memaksa pada 15 km pertama, saat jalan pada dasarnya rolling menanjak halus. Kemudian kami mencapai sebuah terowongan. “Sekarang tanjakan resmi dimulai,” ucap Choonwei.

Yap, sejak terowongan itu, jalanan terus menanjak tanpa istirahat. Terus berkisar di kemiringan 6 persen. Kemudian, setelah km 25-an, kemiringan bertambah ke angka 9 persenan, sesekali menyentuh 12 persen.

Pada km 33, kami berhenti untuk istirahat di sebuah 7-Eleven lagi. Kata driver kami, inilah mini market terakhir. Setelah ini, tidak ada lagi tempat untuk beli makanan dan suplai. Padahal masih menanjak terus 20 km, masih jauh dari puncak.

Dan setelah itu, hanya ada dua “turunan” sangat singkat untuk kaki beristirahat. Selebihnya sangat sering di kemiringan 9 persen. Sesekali menyentuh 12-13 persen.

Pada km 46, ada satu lagi lokasi untuk berhenti. Mobil kami menunggu di situ, siap mengisi air dan menambah suplai cemilan.

Ya, hanya tujuh kilometer tersisa. Kami disarankan berhenti 2 km sebelum finis, untuk berfoto di tulisan penanda yang populer di kalangan turis. Yaitu tulisan “Taroko National Park.”

Karena hari Sabtu, ada begitu banyak mobil dan bus ikut menuju ke atas. Padahal, jalanan lumayan sempit, sehingga kendaraan kadang harus bergantian dari dua arah. Kalau sampai arah ke atas berhenti, sepeda harus ikut berhenti.

Padahal, tujuh km terakhir itu miring sekali. Berkali-kali menyentuh 13 persen. Bahkan menjelang papan tulisan yang dituju mencapai 16 persen. Karena ketinggian sudah di kisaran 3.000 meter, udara juga sudah menipis. Walau tidak kram, kaki mulai lemas. Suplai oksigen mulai berkurang.

“Kepala saya pusing sekali,” aku Johnny Ray, yang terus berjuang menuju puncak.

Dari papan tulisan itu, puncak Wuling sudah terlihat. Masih 2 km di atas. Tapi jalannya masih berkelok-kelok, jadi 2 km itu rasanya tidak sampai-sampai. Kemiringannya pun konstan di angka 9 persen.

Sepanjang jalan, kami melihat begitu banyak cyclist menuntun sepeda. Beberapa menyandarkan badan dan sepeda ke pagar pengaman. Rute ini memang bukan tantangan mudah!

Pada akhirnya, kami sampai di puncak. Ramai sekali. Banyak turis. Baik yang naik sepeda, naik motor, maupun naik mobil-mobil dan bus. Jam sudah sekitar pukul 13.00. Padahal kami start sekitar pukul 07.20. Total perjalanan sekitar 5,5 jam!

Saya mengecek Garmin saya. Total gowes time-nya 4 jam dan 35 menit. Total berhenti istirahat dan foto-foto hampir sejam. Dalam 53 km, saya menanjak 2.740 meter. Membakar sekitar 3.000 kalori.

John Boemihardjo menanjaknya hampir 3.000 meter. Karena dia sampai puncak duluan, lalu turun lagi 2 km untuk menunggu kami di papan Taroko National Park, lalu ikut naik lagi.

Sebagai pembanding, even menanjak paling kondang di Indonesia, Bromo KOM Challenge, total menanjaknya tak sampai 30 km, menuju ketinggian sekitar 2.000 meter.

Karakter menanjaknya mirip. Tapi Bromo KOM hanya curam di puncak. Sedangkan menuju Wuling jauh lebih panjang, dan belasan persennya tersebar di beberapa tempat.

Begitu sampai puncak Wuling, kami mengusung sepeda naik tangga ke papan penanda ketinggian. Tulisannya “3.275 meter.” Saya bicara dengan John, ini titik tertinggi kedua yang pernah kita capai. Rekor tertinggi kami di puncak Independence Pass di Colorado, Amerika, yang mencapai 3.687 meter di atas permukaan laut.

Setelah itu, kami naik ganti baju dan naik mobil. Turun ke bawah. Sebelum sampai dasar tanjakan, kami berhenti di sebuah restoran terkenal. Suguhan khasnya adalah ayam panggang. Ayamnya besar-besar, dan kami pesan dua ayam utuh untuk berlima (bersama driver).

Puas “hancur” menanjak, puas makan ayam enak.

Lalu pulas tidur di mobil kembali ke Taichung.

Kapan-kapan kembali lagi, mencoba “menu utama” gowes di Taiwan. Yaitu menanjak Wuling dari kedua sisi… (azrul ananda)

 

 

 Galeri Foto 

 


COMMENTS