Sepuluh (10) Barang Sepeda Favorit Azrul Ananda 2022

Pandemi sudah mereda, bahkan banyak yang bilang sudah berakhir. Sekarang kita bisa menyimpulkan, bahwa yang terjadi di dunia sepeda dua tahun terakhir adalah "fad," bukan tren. Hanya melejit sesaat, tidak sustainable ke depannya. Harga sudah terlanjur kacau balau, kebanyakan pelaku industri sepeda mulai kerepotan dengan stok berlebihan.

Walau ke depannya penuh pertanyaan, harus diakui ada banyak "barang baru" dalam dua tahun terakhir. Di saat banyak produsen ngebut mencoba memuaskan booming-nya cyclist "produk pandemi."

Dari sekian banyak barang yang saya coba/beli, berikut beberapa yang memikat saya selama 2022:

1. Hope RS4 hub

Pembaca rutin tulisan saya di Mainsepeda mungkin masih ingat kalau hub favorit saya adalah DTSwiss DT240. Tidak perlu ceramic bearing, tapi high performance, tahun banting, nyaris zero maintenance. Belakangan saya punya favorit baru: Hope RS4, yang tulisannya "Made in UK."

Hope lebih dikenal di arena MTB. Semacam "Chris King"-nya Inggris, tapi tidak semewah merek Amerika itu. Tipe RS4 adalah versi road-nya. Saya kali pertama menjajalnya ketika ada sale besar di sebuah situs Inggris, untuk wheelset rakitan sendiri. Ternyata saya kepincut. Bunyinya tidak senyaring Chris King, tapi cukup nyaring. Ada "menggigit"-nya, sehingga terasa responsif.

Kurang lebih setara DT240, mungkin sedikit di bawahnya. Yang pasti lebih murah dan ada opsi pilihan warna ala Chris King. Tapi saya senang memakainya. Kalau Anda bertemu saya saat ikut event, kemungkinan besar saya memakai wheelset karbon rakitan sendiri memakai hub Hope RS4.

 

2. Ban Dalam TPU

Anda bisa keluar duit jutaan, belasan juta, bahkan puluhan juta hanya untuk menghemat bobot 100 gram. Namun, ada solusi jauh lebih simple dan memberi keuntungan performa sekaligus ketangguhan. Yaitu ban dalam jenis TPU alias thermoplastic elastomer alias plastik!

Merek Eropa Tubolito termasuk pendorongnya. Kemudian merek besar lain seperti Pirelli dan Schwalbe ikut-ikutan. Belakangan, merek-merek Tiongkok yang lebih murah seperti RideNow ikut mempopulerkan.


Ban dalam TPU, dari kiri: RideNow, Cyclami, Tubolito

Dengan ban dalam ini, bobotnya hanya sekitar 35 gram per buah. Hemat hampir 100 gram hanya untuk satu ban dalam. Kalau dipasang di dua ban, hematnya antara 150-200 gram! Soal performa, juga lebih rolling daripada ban dalam karet butyl biasa. Dan seharusnya lebih tahan bocor, tidak mudah ditusuk. Walau masih ada risiko pinch flat (terjepit).

Tips: Banyak yang belum tahu cara yang benar memakai ban dalam TPU. Jangan pernah dipompa di luar ban. Hanya pompa sangat sedikit, tata di dalam ban, baru dipompa saat sudah terpasang rapi. Ikuti instruksinya, jangan samakan dengan ban dalam biasa! Banyak yang mengalami masalah karena tidak mengikuti anjuran.

 

3. Mi Goreng Strive Mee

Ketika Edo Bawono dkk membuat Strive beberapa tahun lalu, saya termasuk kelinci percobaan mereka. Bar dan gel mereka sudah jadi senjata harian saya dan istri. Belakangan, mereka merilis mie protein. Saya termasuk sangat ngefans dengan yang mi goreng Strive Mee. Cukup tambah telur, kebutuhan protein untuk recovery setelah gowes tercukupi. Tinggal menunggu Om Edo dkk bikin versi mie cup-nya, biar lebih mudah dibawa traveling!

 

4. Kacamata Under Rp 100 Ribuan

Saya punya puluhan kacamata mahal (harga jutaan) yang rusak. Entah lensanya mengelupas atau frame-nya rusak. Jadi malas beli yang mahal-mahal lagi, apalagi dengan pemakaian saya yang belakangan bukan untuk gaya-gayaan.

Tahun lalu, kacamata favorit saya adalah merek Siroko yang harganya sekitar Rp 500 ribuan. Belakangan, saya suka beli kacamata harga di bawah Rp 100 ribu yang banyak beredar di marketplace. Kalau memilihnya benar, kualitas lensa dan frame-nya mumpuni. Bahkan fitur fotokromiknya berfungsi baik!

Saya tidak beli merek palsu ya! Saya bukan Jupe. Yang saya beli yang tidak ada mereknya, walau bentuknya mirip dengan merek-merek tertentu.

 

5. Stem FSA ACR

Tren kokpit "bersih" integrated sudah merajai arena sepeda sekarang. Walau terus terang saya kurang ngefans, karena itu merepotkan servis dan kebutuhan utak-atik ganti ukuran kokpit. Mengingat sepeda Wdnsdy berkolaborasi dengan FSA, saya jadi menjajal banyak komponen kokpit "bersih" mereka yang dinamai "ACR" (aerodynamic cable routing).

Dari sekian banyak pilihan stem ACR, yang saya suka adalah yang FSA ACR alloy biasa. Karena dengan model itu, saya bisa gonta-ganti model handlebar. Bisa yang pipih aero atau bundar nyaman dipegang. Bobotnya juga ringan. Asal tahu saja, tim-tim WorldTour yang disponsori FSA, rata-rata di sepedanya memakai stem ini. Termasuk tim yang belakangan berjaya, Jumbo-Visma.

 

6. Shimano Ultegra Di2 12-Speed

Tahun ini akhirnya saya memakai Shimano Di2 12-Speed. Awalnya punya Dura-Ace 12-Speed, tapi tidak terpakai dan saya lepas karena ada customer Wdnsdy membutuhkannya lebih dari saya. Ketika mau beli lagi, agak malas, karena harga Dura-Ace sudah mendekati Rp 50 juta, dan itu buat saya sangat tidak worth it.

Ketika merakit lagi Wdnsdy AJ5, saya pun memutuskan menjajal Ultegra Di2 12-Speed. Namun, crank-nya saya ganti, pakai Quarq power meter karbon dengan chainring Rotor NoQ. Beli Ultegra 12-Speed tanpa crank harganya di kisaran Rp 25 juta, hampir separo Dura-Ace. Dengan crank power meter karbon, walau lebih mahal dari crank Ultegra baru, tetap memberi benefit fitur power plus bobot lebih ringan. Toh, dengan selisih harga ekstrem, selisih bobot Dura-Ace dengan Ultegra sebenarnya tidak sampai 400 gram! Selisih itu jadi makin tipis ketika saya memakai crank lebih ringan!

 

7. L-Twoo RX Full Hydraulic

Banyak pengamat bilang, inilah grupset game changer industri ke depan. Sudah 12-speed, sudah memakai bahan karbon, dengan bobot lebih ringan dari Shimano 105. Harganya juga jauh lebih murah. Harga sekarang mini grupset L-Twoo RX Full Hydraulic sekitar Rp 6,5 juta. Ke depan, harusnya akan turun seiring dengan semakin terpenuhinya kebutuhan pasar.

Saya termasuk yang pertama di dunia menjajal grupset ini (ada di YouTube Mainsepeda). Dan saya termasuk yang kagum. Kabarnya, pada 2023, akan ada banyak perkembangan baru dari produsen Tiongkok. Sensah kabarnya juga akan segera menyusul punya full hydraulic. Bahkan akan ada versi elektroniknya!

Apakah ini awal dari akhir dominasi Shimano? Karena di berbagai industri lain, merek-merek Tiongkok sudah mengalahkan Jepang, bahkan mengakuisisinya!

 

8. PRO Cork Bar Tape

Ada begitu banyak jenis bar tape. Setelah sepuluh tahun hobi gowes, akhirnya saya memilih function over style. Fungsi lebih penting dari gaya. Belakangan, saya selalu merakit sepeda baru menggunakan cork bar tape dari PRO (anak usaha Shimano). Yang versi paling murah. Dari bahan cork (busa) biasa, namun tidak mudah kotor, tidak mudah rusak, dan nyaman empuk ringan. Merek-merek lain juga mengeluarkan versi cork. Seperti Ritchie dan Bontrager. Semuanya mirip dan nyaman buat saya.

 

9. Bib SUB T/A/G

Dua produk terakhir terus terang punya afiliasi langsung dengan saya pribadi. Pertama adalah bibshort terbaru dari SUB Jersey, yang dinamai T/A/G (touring/adventure/gravel). Ada kantong di samping, ada kantong di punggung, untuk memenuh kebutuhan gowes minggat. Tapi, fitur paling utamanya adalah padding-nya yang dari Italia. Catatan: Padding itu ada patennya. Jadi tak terelakkan, untuk memenuhi kebutuhan kualitas, SUB yang berpusat di Surabaya harus mendatangkan padding itu dari Italia, lalu memadukannya dengan material made in Indonesia lain di sini.

Saya termasuk kelinci percobaan bib ini pula. Kami menjajalnya saat mengikuti Unbound Gravel 200 mil, Juni 2022 lalu. Silakan coba, rasanya beda. Dan harganya tergolong terjangkau. Saya punya bib merek luar yang harganya empat kali lipat, tapi masih kalah nyaman!

 

10. Sepatu AZA x Avelio

Ini passion project terbaru saya. Yang kenal saya mungkin tahu, sejak 2009 saya sudah senang bikin kolaborasi sepatu made in Indonesia. Khususnya di dunia basket, sepatu AZA sudah sampai seri 6. Awalnya berkolaborasi dengan League, lalu dengan Ardiles. Tidak ada pemain basket di Indonesia yang punya signature shoe berseri sebanyak saya! Padahal saya bukan pemain basket! Silakan google sepatu AZA 6 Hari Merdeka. Waktu dirilis pada 2019, orang rela antre sembilan jam untuk mendapatkan sepatu itu.

Karena passion saya bersepeda, sudah lama saya ingin punya sepatu sepeda sendiri. Belakangan makin pengin. Mengingat harga sepatu sepeda makin tidak masuk akal. Masak sekarang harga Rp 2 juta hanya dapat sepatu dengan sol nylon?

Syarat saya memang mutlak: Sol harus karbon. Kebutuhan pribadi, mengingat kaki saya tergolong panjang, ukuran 45-46. Kalau stiffness solnya kurang, kaki saya mudah kesakitan, engkel saya ikut kesakitan.

Gayung bersambut dari Avelio, yang berpusat di Jogja. Mereka punya sepatu dengan sol karbon. Tinggal bagaimana me-matching-kan kecerewetan saya dengan produk mereka (he he he). Muncullah sepatu AZA x Avelio AA Signature.

Saya sudah menjajal sepatu-sepatu Avelio, dan saya minta perubahan khusus untuk edisi AA Signature itu. Khususnya di bagian punggung atas kaki. Bahan dari kulit premium, terasa sangat empuk. Solnya karbon, sangat kaku. Bahkan tongue (lidah) di punggung atas kaki dari kulit yang empuk. Harganya juga tidak boleh melewati Rp 2 juta.

Pre-order sepatu ini sudah berlangsung pertengahan Desember. Produk akan tersedia pertengahan Januari.

Warnanya hitam khas Azrul Ananda School of Suffering (AA SoS), dengan sentuhan logo emas gelap. Sepatu ini adalah awalan kolaborasi yang kami harapkan bisa menghasilkan produk-produk lebih baik lagi ke depan. Karena kita harus selalu mendukung merek Indonesia sendiri! (azrul ananda)


COMMENTS