Kolom Sehat: Penggalan-penggalan Cerita yang Tersisa di Audax Surakarta (Part 2)


Meski sudah saya tulis pada minggu lalu mengenai cerita-cerita Audax Surakarta, dan pada Rabu kemarin di mana muncul di Podcast Main Sepeda, tetap saja ada beberapa cerita yang belum sempat saya bagi. Maklum, seperti yang sudah saya tulis sebelumya, karena lamanya sepedaan di jalannya wajar bila banyak ceritanya.

Kurang lebih bersepeda di event ini setara dengan gowes seminggu saya jika dirangkum. Dipadatkan dalam satu hari, wkwkwkwk. Bahkan mungkin total jarak gowes dalam dalam seminggu belum tentu 400 kilometer.

Sehari sebelum mengikuti event ini, saya mengambil race pack di tempat start. Pada saat itu saya bertemu Om Bob Aria Bharuna, Nte Xtin dari Jakarta, dan Om Endot. Om Endot ini bagi saya sudah seperti mbahnya mbolang. Dulu ketika saya masih bersepeda lipat, Om Endot dengan seli atau sepeda touring-nya sudah sering gowes jauh jauh.

Waktu itu kami bilang ia 'edan'. Pas bertemu saya, Om Endot menyeletuk, "Om Ray, sekarang yang ambil rute 400 kilometer lebih banyak loh." "Wah jadi sekarang sudah banyak yang edan juga, Ndot. Kalau dulu kan loe jarang ada temannya." timpal saya. Artinya, pengowes mbolang makin menjamur saat ini.

Bertemu Om Iwan, cyclist Indonesia yang bermukim di Qatar sekaligus peserta Unbound Gravel 2022

Ketika datang sehari sebelumnya, ada juga seseorang yang saya temui. Saya tahu dan mengenalnya. Cuma menurut saya ada yang tidak cocok. Kenapa ia bisa ada di sini ya? Karena semesti kan tidak. Sebab saya tahu om ini seharusnya sedang bekerja di negara jauh. Qatar. Orang yang saya temui adalah Om Iwan. Masih ingat, kan? Iya, ia yang beberapa bulan lalu gowes bersama saya di Unbound Gravel. Ia sedang kembali ke Indonesia. Pas di Indonesia disempatkan gowes jauh-jauhan. Benar-benar luar biasa. 

Karena saya baru pertama kali ikut event seperti ini, saya juga baru tahu bila startnya tidak bersamaan. Tidak dilepas dengan bendera yang diangkat seperti yang biasa saya ikut. Saya harus menunjukkan brevet (kartu) ke panitia. Memperlihatkan sepeda dan brevet. Lalu distempel. Langsung berangkat. Untuk kategori saya kala itu, jam berangkatnya antara jam 05.00 sampai 05.30 WIB.

Di tengah perjalanan kami, saya lupa di kilometer berapa, ketika saya, Steven, Okta, serta peserta lain yang kebetulan bersama sedang menikmati turunan panjang yang jalannya lurus. Tiba-tiba kami di kagetkan dengan keluarnya sepeda motor dari sebuah gang. Ibu pengendara motor yang ada rengkek-nya (rak kayu) itu, keluar ke jalan raya. Langsung mengambil badan jalan persis di tengah-tengah jalur kami. Tentu saja kami pun ambyar karena berusaha menghindarinya. Kenikmatan turunan panjang itu pun terganggu, wkwkwkwkwk.

Ketika finis saya diawari untuk foto oleh Om Bob. Saya tolak secara halus. Saya lebih memilih duduk di paving persis di depan meja panitia. Kemudian ada peserta lain yang menemani saya duduk. Saya 'nyeletuk', menyebut paving yang kami duduki itu berharga mahal.

Kenapa mahal? Sebab di sini lah saya bisa istirahat, meluruskan kaki setelah berpuluh-puluh jam bersepeda. Sofa atau kursi yang kita punya mungkin lebih bagus atau lebih mahal. Tetapi kursi itu tidak bisa kita duduki saat ini. Padahal perasaan capek saya tidak bisa menunggu lagi.

Akhir kata, sambil duduk itu, saya baru melihat handphone. Hari sudah menjelang pagi. Beberapa grup menanyakan keadaan kami. Sudah finis atau belum. Serta ada beberapa info seputar rekan-rekan gowes lainnya. Lalu ada satu kalimat yang membuat saya sadar bahwa gowes hari itu sangat lama. Yaitu Om Gunadi, peserta 200 kilometer, yang menulis "Ayo bangun, kita recovery ride."

Pada saat kami baru selesai gowes hampir 24 jam itu, ada pesepeda lain yang baru mau keluar bersepeda lagi. Bukan hal yang bisa dilakukan setiap minggu. Sekian. (mainsepeda)

Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 103

Foto: Dokumentasi Johnny Ray, @chaidar26


COMMENTS