Nge-MiL Sunday: Belajar Jadi Ayah lewat Bersepeda

Sore itu, sekian tahun yang lalu, putra saya mengambil sepeda roda empatnya dari garasi rumah. Ia bersiap-siap untuk bermain di sekitar perumahan kami. Kemudian, kedua ban kecil di belakang dicopot dan mulailah ia belajar bersepeda.

Walau pun di awal ia kesulitan menjaga keseimbangan dan sempat hampir terjatuh, dengan cepat ia melesat dengan lincah. Dengan riangnya ia mengelilingi kompleks perumahan hingga hari mulai gelap.

Itulah cerita yang diceritakan oleh istri saya tentang bagaimana anak kami belajar bersepeda. Bukan saya yang mengajarkannya untuk bersepeda, tapi sopir pribadi keluarga kami.

Sayangnya, hari itu saya absen sebagai seorang ayah yang mengajarkan anaknya bersepeda karena kesibukan yang harus saya jalani. Berkali-kali sudah berjanji, tapi selalu tidak bisa ditepati. Terus terang, ini adalah satu hal yang saya sedihkan dalam hidup saya. Saya berharap suatu hari nanti bisa menebus momen ini kembali.

Karena pandemi Covid-19 ini, banyak orang kembali atau memulai hobi baru: Bersepeda. Termasuk putra saya. Sebelumnya, ia memilih olahraga lari daripada bersepeda. Tapi karena teman-temannya banyak yang bersepeda, akhirnya ia pun mulai bersepeda. Dan ini membuka kesempatan untuk saya bisa menebus kembali momen yang pernah hilang.

Hal yang pertama saya lakukan untuk anak saya adalah mewariskan sepeda yang saya miliki. Sore itu ia memilih Pinarello Dogma 65.1 Think 2 hitam dengan strip kuning Tour de France yang saya miliki untuk menjadi sepedanya. Bersama-sama kami mengatur seatpost supaya bisa sesuai dengan tinggi badannya. Senangnya luar biasa perasaan ini. Karena sebagai seorang ayah, saya bisa mewariskan sepeda kesayangan.

Beberapa hari kemudian saya mengajaknya nge-loop bersama di sebuah perumahan di Surabaya. Saya memimpin di depan, sambil memberikan instruksi bagaimana memindahkan gigi, cara mengayuh dengan benar, dan mengatur napas yang baik. Ketika ia mulai lemah kayuhannya, saya akan memberikannya semangat: “Ayooo… Push Darren! You can do it! Good Job!

Pagi itu kami bersama-sama melahap putaran demi putaran yang ada. Kebahagiannya pun bertambah.

Semakin hari, semakin cepat dan semakin kuat ia mengayuh sepedanya. Kali ini, kami bergantian untuk memimpin di depan. Kadang saya yang menariknya, dan kadang ia yang menarik saya dari depan. Ketika saya melihatnya dari belakang, rasa bahagia ini berubah menjadi bangga. Anak saya bertumbuh menjadi pesepeda yang tangguh!

Di suatu hari minggu yang indah, saya bersama dengan anak saya mencoba tantangan yang baru: bersepeda ke Pandaan dari Surabaya. Beramai-ramai dengan anggota komunitas lainnya, kami menempuh jarak lebih dari 100 km dan menanjak. Itu adalah jarak terjauh dan elevasi tertinggi untuk anak saya.

Kilometer demi kilometer dan semua tanjakan disikatnya dengan mudah. Akhirnya kami tiba di rumah dengan selamat. Tapi kehausan, kepanasan, kotor, dan bau karena keringat yang bercampur debu jalanan.

Bukan capek yang kami ingat, tapi momen kebersamaan yang tidak pernah akan kami lupakan. Momen terindah untuk seorang ayah bersama dengan putranya. Saya tidak sabar menanti tantangan dan pengalaman yang baru ketika bersepeda bersama dengan anak saya. Untuk ia bisa menunjukkan kehebatannya dan untuk saya bisa membanggakannya! Bersepeda bersama, membangun momen indah bersama.

Saya hampir kehilangan salah satu momen dalam kehidupan anak saya ketika ia beranjak dewasa. Tapi saya cukup beruntung bisa menebusnya kembali.

Sebagai seorang ayah, hidup saya dipenuhi banyak tuntutan dan tantangan. Terkadang saya kurang bisa mengatur waktu dan prioritas. Sehingga saya meluangkan banyak waktu di pekerjaan, dan kekurangan waktu bersama keluarga. Terkadang saya tidak sensitif akan kebutuhan keluarga.

Apa yang saya anggap penting, sebenarnya kurang terlalu penting untuk mereka. Sehingga saya pikir dengan mencukupi keluarga dengan materi bisa menjawab semuanya. Padahal mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan tanpa pamrih, lebih daripada uang. Mereka lebih butuh kehadiran saya sebagai orang ayah di rumah.

Bersepeda mengajarkan saya menjadi ayah yang baik. Ayah yang baik mewariskan anaknya hal-hal yang terbaik dari kepunyaannya. Ayah yang baik memberikan instruksi dan mengajarkan anaknya untuk bisa menjalani kehidupan. Ayah yang baik memberikan dorongan semangat kepada anaknya saat ia lemah. Ayah yang baik mendorong anaknya untuk bisa mencapai potensi maksimal yang mereka miliki. Ayah yang baik hadir bagi anaknya untuk bisa menikmati setiap momen kemenangan bersama.

Hari ini saya masih terus belajar untuk menjadi ayah terbaik buat kedua anak-anak saya. Masih sangat jauh dari sempurna! Tetapi menjadi seorang ayah itu seperti layaknya menjadi seorang pesepeda tangguh: Perjalanan dan pertumbuhan menuju kesempurnaan itulah yang membuatnya jadi sangat berharga. Nikmatilah setiap momen yang ada di dalamnya! 

Dari seorang pesepeda dan ayah yang tangguh! @milbudiyanto

Tentang Penulis:

@milbudiyanto adalah seorang pesepeda papan bawah, pelari marathon dan juga baru belajar jadi triathlete. Pemilik hashtag #dilarangmalas ini bekerja di Gereja Mawar Sharon Surabaya dan dikaruniai satu orang istri @juluanbahri dan 2 orang anak @chloeandreab @darrenbudiyanto

Foto-Foto: Dewo Pratomo


COMMENTS