Terima Kasih, Guru-Guru Bersepeda Saya

Azrul dan Khoiri Soetomo saat lunch di pabrik Campagnolo di Italia

Cycling bukan hobi yang gampang. Bahkan bisa dibilang hobi yang "kejam." Butuh guru atau mentor yang bisa mendorong kita untuk bisa bersepeda dengan baik. Bukan sekadar beli sepeda lalu gowes begitu saja.

Waktu saya kali pertama main sepeda pada 2010, pada dasarnya saya gowes tanpa panduan selama hampir dua tahun. Beli sekadar menuruti saran toko, yang belum tentu benar dan baik. Gowes juga dengan sesama pemula, atau orang lain yang kadang juga sok paham bersepeda (padahal enggak).

Karena itu, saya ingin mendedikasikan tulisan ini untuk guru-guru saya bersepeda. Tanpa mereka, saya mungkin tidak melanjutkan hobi yang begitu indah ini.

Berikut para mentor itu, dengan urutan acak. 

 

Khoiri Soetomo dan Liem Tjong San

Dua orang ini adalah "mentor kesabaran" saya. Pak Khoiri (ketua Surabaya Road Bike Community) adalah penghobi MTB sebelum ikutan ke road bike. Pak San adalah penghobi dan kolektor lama, termasuk penyemangat sepanjang masa di Makassar.


Pada 2012, kami dan sejumlah teman lain nekat berangkat ke Prancis. Menonton Tour de France sekaligus menjajal beberapa rute tanjakannya. Terus terang, waktu itu saya masih belum bisa menanjak. Belum tahu tekniknya, belum tahu bagaimana harus mengatur pace.

Teman-teman yang lebih kuat sudah jauh di depan. Saya masih termasuk belakang. Pertama saya mencoba menguntit Pak Khoiri. Ketika copot, saya mencoba menguntit Pak San. Kedua orang ini cara gowesnya sangat sabar. Tenang, tidak emosi, dengan putaran kaki konstan. Tidak cepat, tapi konstan.


Azrul dan Liem Tjong San di Sepang.


Liem Tjong San di Bukit Nona.

Dari situ saya belajar pentingnya pacing. Dan sejak saat itu, kesabaran kedua orang ini menjadi acuan saya. Bukan hanya dalam bersepeda, tapi juga dalam kehidupan.

 

Henry Widjaja (Samba Semarang)

Soal bikin event, kita semua harus angkat topi dan memberikan aplaus kepada komunitas Samba Semarang. Di saat yang lain baru mulai gowes, mereka sudah bertahun-tahun bikin event.

Event long ride pertama yang saya ikuti adalah Tour de Borobudur tahun 2012. Sebenarnya tidak jauh untuk ukuran sekarang, "hanya" sekitar 85 km dari Semarang menuju Candi Borobudur. Waktu itu, saya ikut event edisi ke-12.


Henry Widjaja (tengah)

Walau hanya 85 km, rutenya melewati sejumlah tanjakan. Untuk standar sekarang, tanjakannya tidak berat. Tapi bagi pemula seperti saya waktu itu, minta ampun beratnya. Harus berhenti di semua pit stop (tiga kali) sebelum sampai finis.

Waktu itu, saya harus berterima kasih kepada Pak Henry Widjaja, salah satu senior Samba. Dengan sabar, dia terus menemani saya sepanjang rute. Mengingatkan untuk pindah gir, mengubah putaran kaki, dan teknik-teknik lain.

Ternyata, Pak Henry ini memang guru sejati. Belakangan, beliau melakukan hal sama kepada Bu Atikoh Ganjar, istri gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Kebetulan Bu Ganjar ini hobi sekali gowes. Dan menurut saya, Bu Ganjar dapat guru/mentor yang istimewa! Saya salah satu produknya!

 

Siswo Wardojo

Salah satu kalimat cycling yang paling saya andalkan adalah: "Agar seorang cyclist menjadi kuat, jangan pernah takut-takuti. Lebih baik dibohongi." Kalimat itu muncul gara-gara Siswo alias Ko Sis. Entah berapa kali saya dijebak dia ikut gowes aneh-aneh. Mulai event 300 km, tanjakan-tanjakan tidak masuk akal, dan lain-lain.


Azrul bersama Ko Sis.

Pernah dia bilang: "Naik lagi aja, satu km lagi 15 persen."

Ternyata, yang dia maksud bukan tanjakan 15 persen satu kilometer dari situ. Melainkan tanjakan 15 persen sepanjang satu kilometer!

 

Prajna Murdaya

Kami mengawali hobi di saat yang sama. Prajna memang bukan paling kuat, atau paling cepat. Tapi semua yang pernah pergi dan ikut event bersama dia akan mengakui satu hal ini: Prajna tidak akan mau menyerah walau paling belakang!

Saya ingat tahun 2012, saat kami menanjak Col de Marie Blanque di Prancis. Walau paling belakang dan ada opsi naik mobil, dia tetap mengayuh pedal sampai finis. Ketika kami tanya kenapa tidak mau naik mobil saja, dia menjawab dengan tegas: "Saya tidak pergi sejauh ini hanya untuk naik mobil!"


Azrul, Prajna Murdaya, dan Khoiri Soetomo.

Karena itu, kita harus selalu memberi penghormatan tertinggi kepada semua yang berjuang sampai finis di tanjakan. Bukan untuk mengejar medali atau kemenangan, melainkan menaklukkan diri sendiri!

Oh ya, Prajna ini juga "racun" nomor satu soal beli sepeda. Ketika di Prancis itu, Prajna bilang: "Kalau kita selamat menuntaskan tur ini, kita harus merayakannya dengan membeli sepeda kembaran."


Azrul dan Prajna Murdaya dan Choonwei Tay saat gowes bareng menghormati meninggalnya Lee Kuan Yew di Singapura

Sepeda waktu itu adalah Trek Madone 7 warna putih, edisi RadioSchack-Nissan-Trek. Masih disimpan sampai sekarang. Setelah itu, ada lagi sejumlah sepeda kembaran yang kami koleksi...

 

Choonwei Tay

Sekarang sudah bukan rahasia, fitting sepeda yang baik menentukan performa saat bersepeda. Tapi dulu ini masih belum populer. Saya dikenalkan ke Choonwei saat bertemu orang teknologi fitting Retul asal Amerika, di Taipei Cycle Show, pada 2013.

Sejak saat itu kami menjadi teman, dan sering ikut acara gowes di berbagai negara di dunia. Saya termasuk kritis, sehingga Choonwei bilang saya ini sudah bisa jadi seorang bike fitter. Tapi, secara berkala saya selalu minta rekomendasi dia ketika ada masalah pada bagian tubuh tertentu. Misalnya, kalau otot hamstring tidak nyaman, harus bagaimana. Kalau ada sakit pada glute, harus geser sadel seperti apa. Dan lain-lain.

Bagi saya, Choonwei seperti "dokter sepeda." Selalu bisa dimintai resep kalau ada masalah. Ha ha ha...

 

Paulus Setyabudi dan John Boemihardjo

Koko Paulus ini selalu jadi partner gowes paling sering saat saya berproses menjadi kuat. Dia juga arsitek top, jadi selera estetikanya keren. Dan dia termasuk cyclist berprestasi, karena sering meraih hasil baik saat kita ikut balapan. Termasuk naik podium di balapan bergengsi (bagi penghobi) di Banyuwangi.


John Boemihardjo, Paulus Setyabudi dan Azrul Ananda.

Sedangkan John secara teknis adalah "murid" saya. Kebetulan dia bakat dan kemudian jadi jauh lebih kuat. Pada akhirnya, John bukan guru dalam arti mengajari. Tapi jadi murid yang terus mendorong supaya gurunya tidak kendur.


Bersama John Boemihardjo di Independence Pass, ketinggian 3.600 meter di Colorado

Dalam semua hal, kita tidak mungkin bisa maju kalau tidak ada teman yang konsisten bersama. Kebetulan, Paulus dan John adalah teman konsisten di saat saya sedang berproses. Karena yang lain lebih angin-anginan gowesnya.

 

Go Suhartono alias Ko Hai

Semua penggemar di Surabaya kenal Ko Hai. Bahkan yang dari luar kota tahu nama Ko Hai. Usianya sudah 70-an tahun, tapi ketekunan dan ketangguhannya minta ampun.


Ko Hai (tengah) saat gowes Surabaya-Labuan Bajo.


Azrul bersama Ko Hai di Labuan Bajo.

Di usia itu, Ko Hai siap mengalahkan dan meninggalkan cyclist lain yang malas latihan. Di sisi lain, Ko Hai selalu siap menemani dan menyemangati cyclist pemula. Ada teman cyclist yang bilang: "Kalau tua aku ingin seperti Ko Hai." Saya kira banyak yang setuju dengan ucapan itu.

 

Semua Adalah Guru

Tentu saja, masih banyak teman lain yang mendorong saya jadi cyclist yang lebih baik. Di Surabaya, Indonesia, maupun di luar negeri. Mohon maaf kalau tidak bisa disebut satu per satu. Misalnya Rasditya "Didit" dan Joko Juarez, dua orang yang sering menemani saya gowes ke mana-mana.

Saya yakin, teman-teman juga punya orang yang layak disebut sebagai "guru" bersepeda. Silakan tulis namanya, dan sebut alasannya di kolom komen di bawah ini. Ingat, guru yang mengajari kita gowes yang benar dan seru, menjadi cyclist yang lebih baik. Bukan yang lebih banyak mengajak nongkrong dan nggosip!

Sepuluh komen terbaik akan mendapatkan hadiah jersey Mainsepeda.com buatan SUB Jersey! Pemenang diumumkan 4 April 2020 (azrul ananda) 

 

PS: Saat menulis komen, tuliskan pula ukuran jersey Anda. Siapa tahu menang.


COMMENTS