Terbang dari Balikpapan Demi Nanjak ke Bromo

Bagi pemula seperti saya, yang baru mulai aktif bersepeda sejak 2017, Bromo KOM Challenge adalah sesuatu yang wow! 'Naik hajinya' para pesepeda itu memunculkan rasa takjub. Melihat foto, dan videonya kaum penikmat tanjakan, membuat saya merasa ngilu, sekaligus penasaran.

Berbekal tekad, dan nekat, saya daftar Herbana Bromo KOM Challenge 2019. Modal saya cuma satu, yakni bersepeda di jalanan Kota Balikpapan yang memiliki kontur rolling.

Namun apa daya, jadwal Herbana Bromo KOM Challenge tahun lalu bertabrakan dengan kegiatan kantor yang tidak bisa ditinggal. Saya pun gagal berangkat. Pasrah, sekaligus ngenes. Meski demikian, jersey hijau tetap dikirim ke Balikpapan oleh panitia yang baik hati.

Saya semakin penasaran setelah melihat foto-foto Herbana Bromo KOM Challenge 2019. Ada yang nangis pas finis. Ada pula yang yang menuntun sepeda dengan pantang menyerah walaupun lewat cut off. Ah, seru sekali, kayaknya. Saya membayangkan diri saya berada di foto itu.

Setelah menunggu beberapa bulan, kesempatan untuk nanjak di Bromo akhirnya datang. November 2019 lalu saya mendapat tugas kantor selama dua hari di Surabaya. Ini kesempatan emas, pikir saya. Sejak di Balikpapan, saya sudah merencanakan untuk nanjak di Bromo.

Setelah urusan kantor selesai, tiba bagi saya untuk mencicipi tanjakan Bromo.

Saya berangkat setelah subuh dari Surabaya. Naik taksi online. Yang supir taksinya bingung mencari pintu keluar tol Surabaya-Pasuruan.

Kami tiba di GOR Untung Suropati, Kota Pasuran pukul 06.30. Sebelum memulai perjalanan, saya mampir di minimarket di depan GOR. Saya beli sehelai roti, dan segelas susu untuk isi perut.

Kemudian saya menghubungi seorang teman. Dinasnya di Pasuruan. Saya memintanya sebagai road guide. Soalnya saya buta rute Pasuruan-Bromo

Petualangan dimulai tepat pukul 07.00. Brompton 6 Speed yang saya bawa dari Balikpapan, mulai saya kayuh. Perjalanan dari GOR Untung Suropati menuju Pasar Pasrepan sejauh 15 kilometer masih terasa mudah. Akan tetapi, saat melewati Desa Puspo, saya sudah tidak kuat. Energi habis. Lapar.

Saya putuskan untuk beristirahat di sebuah warung pinggir jalan. Sepiring mie kuah hangat, dan segelas teh panas langsung saya lahap. Puas sarapan, saya melanjutkan gowes.

Kali ini perjalanan terasa semakin berat. Memang benar ulasan teman-teman tentang Bromo. Bahwa semakin ke atas, semakin berat pula mengayuhnya. Setiba di Desa Baledono, saya tak lagi melihat jarak di Garmin. Yang saya lihat hanya elevasinya. Angkanya beranjak tinggi, tinggi, dan semakin tinggi.

Capek? Tentu saja. Ngos-ngosan? Sudah pasti. Kaki ini rasanya ngilu sekali. Saya belasan kali menepi di pinggir jalan. Untuk mengatur napas, dan mengistirahatkan kaki.

Ketika energi hampir habis, penyelamatan heroik dilakukan road guide saya. Ia memberi sebutir apel sebagai bekal untuk menyelesaikan 5 kilometer terakhir menuju Wonokitri. Rasa manis, dan sedikit asam dari buah apel menambah semangat saya untuk melepaskan diri dari 'penderitaan' ini.

Saya harus berkelok zig-zag, sampai hampir horizontal, untuk tiba di Wonokitri. Terasa semakin berat karena saya sempat kram pada 200 meter jelang finis.

Setelah mengayuh selama 5 jam 30 menit, akhirnya saya tiba di garis finis. Di Pendopo Agung Wonokitri. Berkat membaca petuah suhu gowes, Mas Azrul Ananda, tentang cara menaklukan tanjakan Bromo, target tidak nuntun, dan tidak kram saat finis, berhasil saya capai.

Rasanya sungguh luar biasa. Saya benar-benar puas.

Saya pun bersyukur karena tidak ikut Bromo KOM Challenge 2019. Sebab, jika saya ikut tahun kemarin, kelihatannya saya tidak akan mencapai batas waktu.

Kapok? Enggak! Justru bikin nagih.

Saya sudah daftar Herbana Bromo KOM Challenge 2020. Saya masih ingin merasakan penderitaan ini bersama goweser lainnya. Hehehehe. Semoga kali ini tidak bertabrakan lagi dengan agenda kantor. See you soon.(Iwan Jack)


COMMENTS