Doyok dan Asri Rindu "Perihnya" Gowes Menanjak di Bromo

Kesempatan tidak datang dua kali. Itu pedoman hidup Miftahul Huda asal Bogor ini. Perusahaan pabrik kemasan yang telah menafkahinya selama 10 tahun terakhir harus gulung tikar.

Doyok, sapaan akrabnya tidak putus asa. Hobinya bersepeda memberinya kesempatan untuk meneruskan hidup. Sudah dua tahun terakhir, dijalaninya sebagai marshal atau pemandu trek bersepeda mountain bike (MTB) di kawasan Sentul, Bogor.

Sore itu, di sebuah warung kopi setelah gowes menembus hutan kawasan Sentul dengan sepeda MTB United-nya, Edo Bawono bersantai dengan Doyok. Obrolan ringan berujung membicarakan even gowes menanjak paling bergengsi, Herbana Bromo KOM Challenge yang start dari Surabaya, 16 Maret.

“Edo bilang saya mumpuni dan bisa jadi juara di even itu. Saya oke aja menerima tantangan Edo. Setelah pulang baru berpikir, bagaimana saya bisa yakin menang jika mencoba aja belum pernah,” cerita ayah tiga putra ini.

Hari-hari berlalu, Doyok tetap berlatih dengan MTB di kawasan Sentul. Satu minggu sebelum even, Edo kembali menghubungi Doyok untuk segera berangkat ke Surabaya dan tidak perlu bawa sepeda.

“Saya kaget, ikut even gowes kok tidak perlu bawa sepeda. Ternyata om Edo sudah menyiapkan semuanya, saya pakai sepeda Wdnsdy AJ62 yang sudah siap di Surabaya,” ujar pria 45 tahun ini.

Begitu sampai Surabaya, Doyok tidak sempat latihan. Langsung seting sepeda dan mengikuti even Herbana Bromo KOM Challenge di hari Sabtu, 16 Maret. Mengenakan jersey warna merah bata penanda peserta Men Age Category 45-49.

Doyok hanya belajar dari data Strava milik cyclist yang gowes ke Bromo dan tidak pernah mencoba langsung. “Gowes Surabaya-Pasuruan relatif flat tidak ada masalah,” tuturnya. Ketika lepas Pasuruan menuju Wonokitri, Doyok mengatur strategi berada di belakang marshal sedekat mungkin.

Selepas dari gate Start KOM, Doyok langsung tancap gas. “Ternyata… gila nanjak teruuusss tidak ada henti, tidak ada istirahatnya. Setiap saya melewati peserta saya tanya berapa jauh lagi, dan ternyata masih jauh. Saya tahan sekuat tenaga,” cerita Doyok yang mencatatkan waktu 1 jam 50 menit 17 detik ini.

Begitu sampai di finis di ketinggian 2.000 meter, tanpa babibu, sebotol air mineral diminumnya hingga habis. Tanpa mengetahui siapa yang memberikan botol minuman itu.

Alhamdulillah, perjuangan Doyok bisa membuahkan podium juara tiga di kategori usia 45-49 itu. Setelah mendapatkan medali dan uang hadiah, Doyok kembali ke Surabaya.

Berbeda cerita dari Diah Asri Astyavi, cyclist asal Bogor ini mengaku rindu dengan tanjakan ke Wonokitri, Bromo itu. “Setelah pulang begini, terasa rindunya. Rindu sakitnya, rindu suasananya, rindu ramai-ramainya even,” tuturnya lantas tertawa.

Ibu rumah tangga ini memang termotivasi oleh sang suami, Muhammad Fadly Immammudin, pembalap sepeda yang mengharumkan nama Indonesia di Asian Para Games 2018 lalu.

Sesaat start dari Surabaya, roda belakang sepeda Asri sempat mengalami patah spoke. Sehingga harus stop dan ganti roda. Perjalanan aman hingga GOR Untung Suropati Pasuruan.

Asri memiliki strategi bermain cadence karena ini long climb dan tidak ada istirahatnya. “Setiap 20 menit saya minum madu sachet untuk menambah tenaga,” tuturnya.

Memang, di Bogor, Asri berlatih menanjak terus. “Di rumah tidak ada flat. Keluar rumah udah menanjak. Banyak latihan ke Sentul atau ke Rindu Alam,” tutur Asri.

Menggunakan Wdnsdy AJ1 Chartreuse, Asri menyalip satu demi satu pesaingnya dengan meyakinkan. Alhasil, Asri berhasil menjadi juara satu di Women Age Category 30-34 dengan catatan waktu 2 jam 3 menit 22 detik.

“Tidak menyangka saya bisa juara satu di sini karena persiapan saya juga relatif minim. Tapi Alhamdulillah bisa menggapainya,” bilang Asri.

Uniknya, karena Asri tidak mengharapkan menjadi juara, jadi perempuan kelahiran 4 Oktober 1988 ini menjadwalkan diri untuk pulang ke Bogor dengan pesawat jam 20.30 hari Sabtu.

“Tapi karena saya juara satu dan harus menunggu UPP hingga jam tigaan sore. Maka tidak keburu ke airport. Jadi hanguslah tiket saya. Alhamdulillah ada uang hadiah juara satu jadi bisa untuk menebus tiket baru keesokan harinya,” jelas Asri.

Meskipun baru pertama kali ke Bromo, tapi mereka tidak kapok. Doyok maupun Asri sangat ingin kembali gowes ke Wonokitri, Bromo. “Tanjakannya pedih, tidak habis-habis. Tapi suasanya ngengenin banget, hawanya, dinginnya, kelok-keloknya. Pokok semuanya, deh!” tutup mereka berdua. (mainsepeda)


COMMENTS