Kolom Sehat: Kare di Ketinggian

Minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi Kota Madiun. Kota Brem. Pagi itu saya menganggur, karena acara yang harus saya hadiri masih berlangsung di siang hari. Maka saya pun mengontak teman di sana untuk gowes bareng. Nama panggilannya Zippho.

Saya punya permintaan khusus: Gowesnya jangan terlalu jauh dan rutenya jinak supaya tidak terlalu lelah. Mengingat saya sorenya harus mengemudikan mobil ke Surabaya.

Kemudian ada pula permintaan ekstra khusus: Rute yang dipilih harus ada tempat makannya. Saya bilang, supaya saya tidak sakit. Dengan pede, Zippho berujar: “Beres, nanti kita ke Kare.”

Wihhh, alangkah girangnya saya. Baru kali ini ada teman cyclist yang mengajak makan makanan bersantan seperti kare ini. Biasanya pada jaim, mengaku diet semua.

Karena jalanan pagi itu cukup ramai, tidak mungkin kami banyak mengobrol di jalan. Tidak lama, kami melewati kawasan persawahan yang “Indonesia banget.” Sejauh mata memandang, padi dan pegunungan jadi latar belakang.

Mumpung dapat pemandangan bagus, saya pun berhenti untuk “eksis” alias foto-foto. Kawasan tempat berhenti ini namanya Mruwak. Jalannya mulai tidak datar. Mulai rolling naik turun. Makin lama, jalan makin sepi. Kami pun berada seperti di tengah hutan, jalan pun mulai miring.

Di situlah saya melihat “rambu perpisahan.”

Warnanya kuning. Dengan gambar mobil naik jalan miring ke atas.

Kenapa “perpisahan”? Karena di situlah saya mulai berpisah dengan teman saya. Dia di depan, saya di belakang. Tapi saya tidak menyerah, tetap mengayuh sepeda. Sambil terus berpikir, bahwa Kare-nya pasti enak. Kok sampai dibela-belain naik begini.

Makin lama, jalan terasa makin miring. Saya lihat komputer sepeda, lho kok miringnya sampai 18 persen!

Kenapa ya, di mana-mana yang namanya cyclist selalu suka melihat temannya sengsara? Bahasa Indonesia apa yang harus dipakai untuk menerangkan agar kita tidak dijerumuskan ke rute-rute seperti ini?

Pada akhirnya, saya berhasil menyusul teman saya. Tapi posisinya sudah duduk di sebuah warung. Saya menghampirinya. Dia hanya duduk saja, karena warungnya memang belum buka.

Tidak lama, dia mengajak saya untuk gowes pulang.

Waiiitttt? Mana Kare-nya?

Zippho bilang: “Ya ini Kare.”

Ya Tuhan, ternyata yang dia maksud Kare adalah Desa Kare. Tempat kita berhenti itu namanya Desa Kare.

Saya pun terpaksa menelan ludah, menahan lapar lebih lama. Saya benar-benar mengira yang dimaksud Kare itu adalah hidangan berkuah kuning dengan tambahan santan, ditemani daging ayam yang begitu lunak. Bukan Desa Kare!

Pelajaran hari itu: Survei atau bertanyalah dengan jelas dan detail sebelum menjajal rute baru. Untuk mencegah kejadian yang saya alami.

Memang, pada akhirnya saya tetap diajak istirahat dan makan. Tapi menunya bukan Kare… (johnny ray)


COMMENTS