First Ride Eksklusif - Ketagihan Naik All-new SuperSix Evo di Jerman

Tidak ada perasaan lebih menyenangkan daripada first ride di atas sepeda baru. Apalagi bila test ride itu dilakukan pada sebuah sepeda baru, secara eksklusif.

Para Rabu, 22 Mei lalu, Mainsepeda.com menjadi salah satu penunggang pertama Cannondale All-new SuperSix Evo (generasi ketiga). Menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia yang diundang ke peluncurannya di markas Cannondale Eropa, di Freiburg, Jerman.

Setelah mendengarkan presentasi serta mengikuti diskusi bersama para petinggi Cannondale, kami diberi waktu untuk berganti pakaian. Bersiap mengenakan cycling kit, lalu menuju pelataran untuk mempersiapkan sepeda.

Saya langsung mencari sepeda SuperSix Evo yang menjadi “jodoh” saya hari itu. Yang ada nama saya terpasang di bagian samping top tube.

Tunggangan saya hari itu merupakan All-new SuperSix Evo Hi-Mod. Ukurannya 56, dengan stem 120 mm dan sadel Prologo Dimension Nack. Ukuran dan sadel seperti tunggangan lama saya.

Memang ada nostalgia terasa. Sepeda balap pertama saya adalah Cannondale SuperSix, sebelum Evo. Kemudian, saya juga sempat bertahun-tahun menggunakan SuperSix Evo generasi pertama. Ketika kali pertama duduk di atas sadel All-new SuperSix Evo ini, rasanya langsung pas!

Tunggangan saya hari itu tergolong spek tertinggi. Grupsetnya Shimano Dura-Ace Di2, dipadu dengan crank arm HollowGram SiSL2, chainring FSA Vision, dan power meter Power2Max.

Saat bersiap-siap itu, saya langsung menjajal sepeda baru ini keliling santai di kawasan pabrik bir, tempat markas Cannondale Eropa berada.

Selesai setup, persiapan, dan brifing, rombongan jurnalis ditemani oleh tiga petinggi Cannondale --David Devine, Jonathan Schottler, dan Dr. Nathan Berry-- serta empat personel lain bersepeda sejauh 70 km. Dua mobil mengikuti kami membawa perlengkapan.

Karena ini adalah test ride, maka Cannondale mencari rute yang beragam. Ada bike lane (jalur khusus sepeda), ada aspal mulus, ada gravel melewati jalur pedesaan, dan tentunya ada tanjakan serta turunan. “Ada dua tanjakan dan beberapa medan rolling. Dan hati-hati apabila melewati jalan gravel,” kata David.

Tepat pukul 11 pagi, rombongan berangkat dan langsung masuk ke bike lane. Saat sepeda generasi ketiga ini menghantam bagian tidak rata, bagian belakang tidak terasa melompat-lompat. Kenyamanan teruji di sini.

Ketika harus berpeloton menyusuri jalan utama jalur luar kota dengan kecepatan konstan 35-40 km/jam, efisiensi laju sepeda ini ikut terasa. Berkat wheelset HollowGram KNOT45 dan area bottom bracket yang stiff membuat pedalling jadi efisien dan efektif.

Tepat saat kilometer di Garmin menunjukkan angka 23 km, jalan mulai menanjak. David pun berteriak, “Tanjakan dimulai!”

Terlihat di aplikasi Strava, nama tanjakannya adalah Ihringen-Achkarren Climb, termasuk kategori 4. Panjangnya 2 km dengan kemiringan rata-rata 7 persen.

Digunakan climbing, All-new SuperSix EVO tidak terasa berat. Di sini peran bobot ringan sepeda sangat menentukan. Ketika gradien 8-10 persen, saya sempat mengayuh sambil berdiri. Bagian belakang sepeda cukup kaku merespon kayuhan saya.

Sepeda yang saya gunakan termasuk besar, sehingga bobot totalnya 7,3 kg. Ini tergolong ringan, setara dengan kebanyakan sepeda yang dipakai di WorldTour (di mana ada batasan minimal berat 6,8 kg).

Setelah berfoto-foto sebentar di puncak bukit, David mengatakan bahwa akan ada satu lagi tanjakan. Setelah itu berhenti untuk menikmati kudapan ringan di puncak.

Perjalanan dilanjutkan turun sedikit dan rolling. Saat Garmin menunjukkan kilometer 31, dimulailah tanjakan kedua. Melalui aplikasi Strava, tanjakan ini bernama Texaspass Oberbergen, juga termasuk kategori 4.

Tidak jauh, hanya 1,66 km. Tapi gradien rata-ratanya lebih curam yaitu 8 persen. Sekali lagi, All-new SuperSix EVO sangat fun diajak menanjak dengan on maupun off saddle. Setelah mencapai ketinggian 370 meter, kita berhenti lagi untuk istirahat dan berdiskusi. Tentunya foto-foto!

Ada tanjakan pasti ada turunan. Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Nathan Berry, design engineer Cannondale bidang aerodinamika, bahwa Cannondale sangat mengutamakan aerodinamika karena ingin mendapatkan keuntungan saat di turunan. “Ingat, sepeda ringan membantu di tanjakan, tapi sepeda aerodinamis-lah yang membantu di turunan dan flat,” tutur Nathan.

Ketika saya rasakan, mudah sekali mencapai kecepatan 68 kmh saat turunan. Didukung jalanan yang mulus dan traffic yang sepi. Sebetulnya bisa jauh lebih dari itu, tapi nyali saya tidak sekencang itu. Jadi tuas rem saya tarik perlahan. Rotor disc brake 160 mm depan dan 140 mm belakang bekerja dengan baik memperlambat laju All-new SuperSix Evo, membuat hati lebih tenang.    

Ketika arah balik menuju kantor Cannondale di Freiburg, kami melewati jalan aspal biasa dan bike lane (jalur khusus sepeda yang terpisah dari jalan raya).

Tidak terasa, perjalanan “pulang” 20 km ini menanjak halus. Seolah flat, padahal miring 2-4 persen. Dengan medan menanjak ringan konstan seperti ini, SuperSix Evo baru ini kembali menunjukkan efisiensi.

Setelah 70 km gowes dan menanjak total 660 meter, saya dan beberapa undangan lain memang merasa belum puas “menghajar” sepeda baru tersebut. Tapi kesan pertama selalu menentukan. Dan kalau merasa terus ingin gowes, itu berarti kesan pertamanya mengesankan!

Secara keseluruhan, All-new SuperSix Evo ini semenyenangkan, selincah, dan seringan SuperSix Evo generasi sebelumnya. Tapi dengan tambahan kenyamanan dan aerodinamika. Semakin sempurna sebagai sepeda allrounder. (mainsepeda)  

Bersama Dr. Nathan Berry, design engineer Cannondale bidang aerodinamika. 

 

Baca juga :

Wawancara David Devine

Selamat datang All-new SuperSix Evo

Spesifikasi Cannondale All-new SuperSix Evo Hi-Mod Disc Brake

Frame :

All-new, Ballistec Hi-MOD Carbon, Integrated cable routing w/switchplate, 142x12 speed release thru-axle, SAVE, PF30a, flat mount disc, integrated seat binder.

Fork:

All-new, Ballistec Hi-MOD Carbon, SAVE, 1-1/8” to 1-1/4” steerer, integrated crown race, 12x100 mm speed release thru-axle, flat mount disc, internal routing, 55 mm offset (47-54 cm), 45 mm offset (56-62 cm).

Rims: HollowGram 45 SL KNOT, Carbon, 20h front, 24h rear, 45 mm deep, 21 mm ID, tubeless ready.

Hubs: (F) HollowGram KNOT, sealed bearing 12x100 centerlock. (R) HollowGram KNOT, 12x142 centerlock w/ DTSwiss internals.

Spokes: DTSwiss Aerolite.

Ban: Vittoria Corsa 700 x 25c

Crank: HollowGram SiSL2 pre-installed power2max NG Eco Power Meter, BB30a, Vision rings, 50/34.

Bottom Bracket: Cannondale Alloy PressFit30

Rantai: Shimano Dura-Ace 11-speed

Sproket: Shimano Dura-Ace 11-speed 11-30

Front Derailleur: Shimano Dura-Ace Di2 Braze-on

Rear Derailleur: Shimano Dura-Ace Di2

Shifters: Shimano Dura-Ace hydro disc, 2x11

Handlebar: HollowGram SystemBar SAVE, Carbon, 8 derajat.

Bartape: Cannondale Grip Bar Tape dengan gel 3,5 mm

Stem: All-new HollowGram KNOT alloy dengan cable cover, -6 derajat

Headset: SuperSix, 1-1/4” lower bearing, 25 mm top cap

Rem: Shimano Dura-Ace Di2 hydro disc, 160/140 mm RT900 rotors.

Brake levers: Shimano Dura-Ace hydro disc

Sadel: Prologo Dimension Nack NDR, 143 mm dengan rel karbon

Seatpost: All-new HollowGram 27 SL KNOT, carbon, 330 mm.

 

 

 

 


COMMENTS