Nego Istri Demi Peugeot Mejeng di Ruang Keluarga

Matius 5:13 - Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Jadi saya mencoba menjadi “garam” dalam kehidupan ini melalui sepeda dan pelayanan rohani. – Nala Widya, Gembala Senior di El Shaddai Creative Community Chruch (ECC-Church)

Banyak manfaat bersepeda. Membuat badan jadi sehat dan mempunyai banyak teman. Tapi yang dialami oleh Nala Widya ini agak berbeda. Bersepeda membuatnya dekat pada Tuhan dan mengubah jalan hidup hingga menjadi pendeta.

Dulu, kelas 2 SMP, Nala membeli sepeda balap untuk digunakan ke sekolah. Tapi di sekolah, Nala berkenalan dengan kakak kelas yang menggunakan sepeda Gazelle tipe Champion Mondial untuk balapan.

“Akhirnya saya ngikut dia latihan di PBS STP Sangkuriang dan serius terjun di balap sepeda. Jadi dari tahun 1981 hingga 1987, saya gabung dengan tim junior Jabar atau nasional. Tahun 1987 saya berhenti karena harus kuliah di seni rupa ITB,” cerita warga kawasan Ciumbuleuit, Bandung, Jawa Barat.

Sepeda pertama Nala adalah sepeda rakitan. Memang Nala sangat suka dengan sepeda. Jadi tidak heran apabila dia merakit dan merawat sendiri semua sepedanya.

“Sepeda pertama saya sepeda turing yang saya beli di toko lalu saya rubah geometrinya dengan bantuan almarhum Ihun, mantan atlet sepeda nasional tahun 70-80an. Tahun segitu, susah mendapatkan sepeda bagus meskipun punya uang,” tuturnya mengenang.

Sesudah tergabung dalam tim junior Jabar, tahun 1984 ada sepeda merek Raleigh sumbangan dari kedutaan Belanda untuk ISSI Jabar size 57. Karena badan Nala yang besar, jadi hanya Nala yang bisa menggunakan sepeda bekas pembalap juara dunia asal Belanda, Joop Zetemelk itu.

Karena menyimpan kenangan sebagai sepeda pertama Nala, Raleigh itu dibelinya seharga 425 ribu rupiah dari ISSI Jabar atas seijin Munaip Saleh, ketua ISSI Jabar tahun 1985.

Nala aktif kembali memburu sepeda vintage ketika tahun 2003 saat dirinya masuk sebagai pengurus ISSI Jabar. “Penuh emosional saya mencari lagi sepeda-sepeda yang dulu saya impikan yang hanya bisa saya lihat di majalah Prancis, Miroir du Cyclist,” tuturnya.

Saking terikat emosional, jantung Nala selalu berdebar saat merakit, mengendarai atau memandangi sepeda vintage koleksinya. Bahkan bisa tertawa atau menangis sendiri. “Teringat teman, pelatih, dan sesepuh balap sepeda yang sudah mendahului kita,” kisahnya.

Nala punya pengalaman unik kala berburu frame Pinarello team Banesto di Ebay. Sudah lama dilisting di Ebay tapi belum laku. Begitu saya mempunyai dana, saya langsung beli.

Eh, keesokan harinya, saya dihubungi oleh pemiliknya via email bahwa dia ingin membeli kembali frame itu bahkan rela membayar Nala USD1000 lebih mahal daripada harga jualnya. “Saya semakin berkeras tidak mau melepaskannya!” kekeh Nala.

Selidik punya selidik, ternyata penjual frame itu pernah mengirim email ke Pinarello di Treviso, Italia menanyakan asal usul frame itu. Ternyata itu adalah frame cadangan milik Miguel Indurain, juara Tour de France, Giro d’Italia sekaligus World Champion!

Sang penjual kian gigih merayu Nala. Akhirnya dengan mahar sebiji frame baru gres merek GIOS type compact dan uang USD2.000, Nala melepaskan Pinarello itu. “Baru kali ini istri saya senang ketika saya beli sepeda,” bilangnya sambil tertawa.

Menurutnya, berburu frame vintage itu tidak susah. Yang susah adalah harganya. Karena orang luar negeri sangat menghargai sejarah. Nala lama mengincar frame Peugeot PY10 Super Competition Team Edition. Akhirnya didapatkannya di New York, Amerika Serikat. Jadi langsung ditenteng pulang Indonesia.

Saking sayangnya, suami dari Dr. Ida Ayu Evangelina Sp. Ort ini harus nego dengan anak istri untuk meminta ijin menggantungkan frame itu di ruang keluarga sebagai bagian dari hiasan rumah.

Meskipun Nala sudah memiliki TI Raleigh 753, Peugeot PY Gold Edition, GIOS Aerodynamic, GIOS Compact, Klein Quantum, Merlin Cielo, Colnago Dream Lux Mapei Edition, Colnago Master Team Rabobank, Pegoretti Responsorium, Pegoretti Day is Done, Pegoretti Love3, tapi Nala masih mengincar Colnago Annoversary 55th. “Harganya masih mahal. Nanti aja, deh!” bilangnya.

Paling disayang? Nala mengaku Pegoretti. “Saya pernah bertemu dengan Dario di Malaysia. Dan semua Pegoretti saya dilukis sendiri olehnya jadi sangat spesial. Apalagi Dario sudah meninggal,” tukas ayah dari Viola, Sena, dan Gideon ini.

Selain sepeda vintage besi. Nala juga mengoleksi sepeda karbon seperti Ducati Factory 700 XR. Ini adalah sepeda buatan Bianchi dalam rangka memperingati Kevin Stoner berhasil menjuarai MotoGP menggunakan sepeda motor Ducati.

Adalagi LOOK 586 Mondrian Limited Edition Tour de France juga Pinarello Dogma2 Yellow yang merupakan replika dari sepeda yang digunakan Bradley Wiggins saat merayakan kemenangannya sebagai jura TdF.

Selain mengoleksi sepeda vintage, Nala sangat menyukai proses merakit sebuah sepeda menjadi siap dikendarai. Pengalaman merakit yang paling mengesankan adalah merakit GIOS Aerodynamic.

“Frame beli di Belanda, komponen beli di Belgia, karet Grommet untuk kabel rem di frame beli di Cinelli Italia, toe strap beli di Christophe, Prancis. Dibawa pulang oleh dua orang staff saya dan dibagi dalam tiga pengiriman. Jadi baru setahun sepeda itu jadi,” bilang pria kelahiran 7 April ini bangga.

Saat ini, Nala aktif sebagai Gembala Senior di El Shaddai Creative Community Chruch (ECC-Church) yang beranggotakan 2500 jemaat di Bandung, Jakarta, dan Sydney, Australia. Ternyata sepeda juga yang membawa jalan hidup Nala menjadi pendeta.

“Tahun 1984 saat saya aktif sebagai atlet junior Jawa Barat. Saat itu ada kejuaraan balap tingkat Asean. Dan saya mengalami kecelakaan cukup berat. Akibatnya pipi kiri saya robek hingga menembus ke gigi. Harus dijahit 13 jahitan,” ceritanya.

Peristiwa itu membuat Nala ngeri dan takut akan kematian. Setelah mengalami itu, saya diajak kawan untuk menghadiri Kebaktian Kebangunan Rohani Atlet (KKR Atlet).

KKR Atlet ini dipimpin oleh pendeta Ronny Sigarlaki dan yang bersaksi saat itu adalah Rudy Hartono, atlet bulutangkis yang terkenal itu. “Beliau bersaksi meskipun juara dunia delapan kali tetap hatinya kosong. Akhirnya Rudy bisa menerima Tuhan dan bersukacita,” tuturnya.

Alhasil, sejak 1984, Nala mengabdikan dirinya untuk Tuhan dan gereja. “Jadi saya adalah pendeta yang menggeluti dunia sepeda. juga membina kelompok pengusaha muda yang hobi sepeda dan membimbing mereka dalam bersepeda dan rohani,” tutupnya. (mainsepeda)

 

 


COMMENTS