Paris-Roubaix: Setelan "Cobble" Relevan untuk Gowes di Indonesia

Paris-Roubaix dan balapan-balapan "cobble" (jalan berbatu) merupakan favorit saya di arena WorldTour. Lomba-lomba yang selalu memisahkan siapa yang kuat dan siapa yang super. Selain melihat para bintang adu ketangguhan, balapan-balapan itu juga selalu membuat saya asyik memperhatikan setelan-setelan sepedanya.

Catatan penting: Jalanan cobble itu punya ciri tersendiri. Bukan gravel seperti pengertian populer sekarang, bukan juga offroad. Ini jalan kuno untuk kereta kuda. Terbuat dari batu-batu keras yang melengkung di atasnya, membuat sepeda terpantul-pantul dengan keras saat melintas di atasnya.

Saking terpikatnya dengan dunia cobble, saya bersama John Boemihardjo, Edo Bawono, Prajna Murdaya, dan teman-teman lain sampai niat ke Belgia dan Prancis pada 2015 dulu. Menjajal rute-rute dua Monument berbatu paling kondang, Tour of Flanders dan Paris-Roubaix. Perjalanan eksklusif waktu itu di-manage oleh tim support dari Rapha.


Azrul Ananda, John Boemihardjo, Edo Bawono dkk saat mainsepeda di tanjakan 20 persen Paterberg, arena Tour of Flanders, di Belgia.

Tentu saja, sepeda cobble era itu dengan sekarang sudah jauh beda. Hingga beberapa tahun lalu, sebelum era disc brake, pilihan sepeda dan komponennya selalu jadi bahan diskusi serius.

Pakai sepeda allround/climber biasa? Pakai sepeda endurance? Itu dua pilihan utamanya.

Trek dan Specialized mempopulerkan kategori endurance ketika pembalap-pembalapnya, khususnya Fabian Cancellara dan Tom Boonen, mendominasi arena cobble. Trek dengan Domane-nya, "Spesh" dengan Roubaix-nya.


Fabian Cancellara mengalahkan Peter Sagan di Flanders 2013 setelah meninggalkannya di tanjakan Paterberg ini.

Beda antara allround dan endurance lebih pada geometrinya. Endurance terasa lebih "panjang" dan posisi lebih tegak, untuk membantu kenyamanan. Plus ada fitur-fitur suspensi mungil pada sekitar seatpost atau headtube.

Ingat, pada era rim brake, tidak ada opsi memakai ban lebih lebar. Maksimal di kisaran 28 mm, atau memaksa ke 30 mm. Yang membatasi bukan frame-nya, melainkan brake caliper-nya. Jadi, kenyamanan harus dicari dari bagian-bagian lain.

Supaya nyaman, selain frame yang endurance, juga pakai bartape lebih tebal atau didobel.

Era itu juga era ban tubular berkuasa di WorldTour. Selain terasa lebih empuk, ban tubular juga lebih aman ketika bocor. Tidak terlepas dari rim mengakibatkan kecelakaan. Khusus untuk balapan cobble, khususnya Paris-Roubaix, tim-tim banyak memakai ban tubular buatan tangan yang tidak sesuai merek sponsor. Seperti merek "rumahan" kondang asal Prancis: FMB. Alasan utama sama: Lebih nyaman.

Ketika kami ke Flanders dan Roubaix dulu, kami masih membawa sepeda allrounder "normal" yang sudah cenderung aero. Waktu itu rata-rata memakai Pinarello Dogma F8. Tapi, untuk memastikan komponen lain tangguh, kami memesan wheelset khusus dari Wheelbuilder, yaitu HED Belgium+ dengan jumlah spoke ekstra. Depan 28, belakang 32. Frame kaku ketemu rim ekstra kaku itu kami "lunakkan" dengan ban cobble era itu: Vittoria Pave 25 mm.

Bagi kami yang utama sepedanya tidak rontok/rusak kena medan bebatuan. Karena di arena cobble, yang menyakitkan bukan tanjakannya. Ketika menanjak, walau sampai 20 persen, ban masih bisa "duduk" di bebatuannya. Yang mengerikan kalau turun. Yang menyakitkan saat datar. Mata kita bisa kabur kena guncangan.

Pengalaman itu membuat kami makin takjub pada para bintang-bintang balapan cobble. Bagi saya, mengukuhkan Fabian Cancellara sebagai pembalap favorit saya sepanjang masa.

Sekarang, tentu saja, adalah era disc brake. Sepeda dengan mudah menampung ban 28 mm, yang sekarang jadi ukuran terpopuler di WorldTour. Bahkan kapasitas ban bisa sampai 32 mm.

Semua tantangan kenyamanan diselesaikan dengan lebar ban. Semakin lebar ban, semakin kecil tekanan udaranya, semakin empuk dan cepat melewati jalanan berbatu. Ban 30 mm adalah yang terpopuler di Flanders. Kabarnya, untuk Paris-Roubaix tahun ini, ban-ban tubeless 32 mm itu dipompa sampai di bawah 40 psi!

Pilihan sepeda pun jadi lebih sederhana. Rata-rata tim pakai sepeda allrounder-nya, atau bahkan sepeda aero-nya. Mathieu Van der Poel, unggulan lomba, misalnya. Dia tetap memakai sepeda Canyon Aeroad-nya. Sepeda aero murni. Dia sudah menang pakai itu di Flanders 2024, dan mengejar menang lagi di Roubaix 2024.

Toh semua bisa dipasangi ban 32 mm. Tidak lagi takut pakai handlebar carbon integrated, karena sudah tidak lagi butuh handlebar bundar untuk kenyamanan dan kemudahan tambahan bartape (atau tambahan gel silicon di bawah bartape).

Menjelang Paris-Roubaix 2024, tim-tim yang disponsori Specialized pun kabarnya tidak lagi memakai model Roubaix, walau model itu dirancang untuk medan Paris-Roubaix. Tim-tim itu akan memakai sepeda "standar" lomba-lomba lain: Tarmac SL8 terbaru.

Yang mungkin nyeleneh adalah Tim Israel-Premier Tech (IPT). Saat menjajal rute Paris-Roubaix, pembalap-pembalapnya menggunakan sepeda gravel! Yaitu Factor Ostro Gravel. Kebetulan, banyak sepeda gravel sekarang juga berorientasi racing, memiliki fitur aero juga. Ostro Gravel termasuk aliran aero gravel ini (dan kalau milik saya, ya sepeda aero gravel Wdnsdy Journey KS).

Walau punya kesempatan pakai ban lebih lebar lagi, misalnya 34 mm, Tim IPT tetap memakai ban 32 mm saat cek rute.


Tim IPT turun di Paris-Roubaix menggunakan sepeda gravel.

"Kami telah melakukan banyak tes di atas cobble, membandingkan Ostro VAM (road bike "normal", Red) dengan Ostro Gravel. Kesimpulan besarnya, Ostro Gravel bakal jadi pilihan terbaik untuk Paris-Roubaix. Ostro Gravel memiliki wheelbase lebih panjang, (lebih stabil) untuk balapan seperti Paris-Roubaix. Memberi pembalap lebih banyak waktu untuk bereaksi (dari potensi masalah)", tutur Gary Blem, equipment manager IPT.

Kebetulan, grup Indonesia kami kenal baik dengan Gary Blem ini. Dia dulu kepala mekanik di Team Sky (sekarang Ineos) waktu Chris Froome masih di tim tersebut. Dia rupanya masuk dalam gerbong Froome ketika pindah ke IPT.


Hutan Arenberg, bagian cobble kasar cepat dan berbahaya di Paris-Roubaix.

Sepeda gravel ini akan lebih berguna lagi andai cuaca buruk menerpa lomba. Dan ada indikasi Paris-Roubaix kali ini juga akan tersiram hujan. Andai kondisi jalan jadi basah, apalagi berlumpur, tim-tim yang memakai Specialized pun mengaku sudah siap geser lagi ke sepeda Roubaix.

Jadi, sampai benar-benar hari lomba, utak-atik sepeda ini masih akan berlangsung. Dan sekali lagi, inilah yang membuat lomba-lomba cobble, seperti Tour of Flanders dan Paris-Roubaix, menjadi event yang menarik bukan sekadar aksi di rutenya, tapi juga seputar setelan sepedanya!

PS: Mengingat buruknya kondisi jalan secara umum di Indonesia, setelan Paris-Roubaix mungkin relevan untuk kita-kita di Indonesia! (azrul ananda)


Azrul Ananda di Velodrome Roubaix, tempat finis Paris-Roubaix.


COMMENTS