Mungkinkah Bike Boom Bernasib Seperti Batu Akik?

Seperti banyak negara lain di dunia, Indonesia juga dilanda demam sepeda. Bike boom, begitu masyarakat dunia menyebutnya. Di Indonesia, bukan hanya jumlah pesepeda saja yang meningkat, harga sepeda pun ikut melonjak. Lantas, apakah fenomena ini akan bertahan lama?

Tribun Network menggelar obrolan virtual (overview) untuk mengulas fenomena ini, Kamis (30/7) sore. Tajuknya sangat menarik, "Musim Sepeda, Bakal Seperti Batu Akik?'. Acara ini disiarkan secara live di kanal YouTube dan Facebook Tribunnews.

Pembicaranya juga keren-keren dan kompeten. Ada founder Mainsepeda.com Azrul Ananda, founder Brompton Owner Group Indonesia (BOGI) Baron Martanegara, serta founder Strive Sports Nutrition Edo Bawono. Selama lebih dari sejam ketiga cyclist ini mengulas fenomena ini.

"Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, di dunia juga. Pemicunya banyak tempat olahraga yang tutup selama pandemi. Selain itu orang juga berpikir dua kali jika naik kereta atau transportasi umum," kata Edo Bawono mengawali obrolan.

Tak sekadar meningkatkan jumlah pesepeda, bike boom di Indonesia juga membikin nilai sepeda naik gila-gilaan. Mulai tiga hingga lima kali lipat. "Kondisi ini murni fungsi demand yang naik luar biasa. Di satu sisi kami senang, tapi di sisi lain kami juga khawatir ini bukan tren, tapi fad," ucap Azrul.

Menurut salah satu founder WDNSDY Bike ini, toko dan produsen sepeda tidak menyangka ledakannya akan sebesar ini. Tentu saja mereka happy karena stoknya cepat habis. "Akan tetapi, justru dalam situasi seperti ini kami harus evaluasi dan instrospeksi. Jangan sampai jadi bumerang," jelasnya.

Sepeda lipat termasuk jenis yang sedang naik daun. Salah satu brand sepeda yang menjadi pujaan di Indonesia adalah Brompton. Sepeda sultan, begitu masyarakat menyebutnya. Hal itu mengacu pada harga Brompton yang melonjak sangat tinggi dewasa ini.

"Dari dulu harga Brompton sudah naik. Tapi dulu naiknya masih wajar. Sekarang banyak pedagang Brompton baru. Dealer resmi sebenarnya menjual dengan harga normal. Tapi ada pihak yang kemudian menjualnya lagi dengan harga tinggi. Kami menyebutnya harga gorengan," jabar Baron.

Menurut Edo, fenomena bike boom ini bukan yang pertama terjadi di dunia. Hal ini telah terjadi di negara-negara Eropa. Bahkan Amerika Serikat pun pernah mengalaminya pada 70an silam. Kala itu terjadi krisis minyak di Negeri Paman Sam. Sehingga masyarakat memilih bersepeda daripada menggunakan mobil.

"Bike boom itu setop pada 1974. Setelah diusut, kembali ke masalah infrastruktur. Kalau tidak ada dukungan dari pemerintah agar goweser lebih nyaman bersepeda, mungkin tren ini tidak bisa berlanjut. Kita perlu belajar dari negara yang berhasil. Contohnya Belanda," kata cyclist asal Jakarta itu.

Tak sekadar nyaman, insfrastruktur yang dibagun juga harus memastikan cyclist aman selama bersepeda. Atau pemerintah bisa menyontoh apa yang dilakukan oleh negara maju macam Inggris dan Prancis. Mereka memberikan insentif kepada orang yang bersepeda.

"Bahkan di beberapa negara bagian di Amerika, Anda akan mendapatkan makan siang gratis jika Anda bersepeda ke kantor," ungkap Azrul.

Baron menambahkan bahwa pemerintah tak bisa berjalan sendirian. Juga butuh campur tangan pihak swasta. Pemilik cafe atau restoran, misalnya. Untuk menjadi tempat yang bike friendly, pemilik cafe bisa menyediakan tempat parkir sepeda yang aman, plus petugas yang menjaganya.

"Saya bersyukur karena pada saat ini sudah banyak cafe yang mau menerima sepeda lipat," ungkap Baron.

Dari fenomena yang terjadi saat ini, ketiganya berharap agar mereka yang mulai jatuh cinta dengan olahraga sepeda bisa tetap bersepeda ketika fenomena ini tak lagi terjadi. Sehingga masyarakat melihat pesepeda sebagai orang yang mau sehat dan orang yang mau transportasi aktif.

"Fenomena ini lebih baik daripada fenomena batu akik," canda Azrul. "Sepeda masih ada fungsi lingkungan dan kesehatan," imbuhnya.

Kepada cyclist pemula, Edo Bawono berpesan agar mereka bersepeda dengan intensitas rendah. Satu jam sehari dan dilakukan selama tiga kali seminggu. "Untuk yang doyan high speed, latihannya juga harus bertahap," bilangnya.

Azrul sepakat dengan Edo. Ia turut mengingatkan cyclist untuk tak langsung bersepeda dengan intensitas tinggi. Azrul menambahkan, bersepeda harus disesuaikan dengan tujuan serta budget. Bisa dimulai dengan membeli sepeda yang standar. Tak harus yang paling mahal.

"Jangan lupa beli helm! Ini penting sekali. Saya paling takut lihat cyclist tidak pakai helm. Masa bisa beli sepeda mahal tapi nggak bisa beli helm," pesan Azrul. (mainsepeda)

Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 7: Gowes di Luar Negeri Belum Tentu Lebih Mahal


Audionya bisa didengarkan di sini


COMMENTS