Kolom Sehat: Kalau Jodoh Tak Akan Ke Mana

Pertama-tama, izinkan saya mengucapkan Selamat Idul Fitri 1441 H bagi yang merayakan. Mohon maaf lahir batin. Mohon maaf bila selama ini ada tulisan saya yang kurang berkenan di hati para pembaca yang budiman.

Nah, sekarang kita bahas judul tulisan ini. Bahwa jodoh tak akan ke mana. Kalau Anda kira saya sudah ahli membahas atau sedang ingin membuat rubrik kontak jodoh, berarti Anda benar. Alias benar-benar salah!

Pada kesempatan kali ini, saya ingin sedikit bercerita sebuah kejadian ketika saya bersepeda. Lalu, apa hubungannya dengan jodoh? Sabar. Nanti tiba waktunya Anda akan mengerti. Seperti yang sering diucapkan oleh para orang tua.

Ceritanya begini. Seperti kebiasaan para cyclist beberapa hari sebelum hari Sabtu, Minggu, atau hari libur, pasti yang dibahas masalah rute. Saling bertanya mau ke mana. Si A ajak ke sini. Si B maunya ke sana. Si M ngajak karaoke.

Tentu pilihan-pilihan ini akan sulit dipilih dalam keadaan seperti sekarang. Di mana pertimbangan keluar bersepeda berbeda dengan "old normal." Akhirnya, saya pun memilih sebuah rute yang cukup jauh tapi tidak terlalu berat. Mengingat beban hidup ini semakin berat.

Rute waktu itu, dari Surabaya ke Lawang lalu kembali pulang. Kurang lebih sekitar 130 km roundtrip, tapi tidak ada tanjakan curam, ideal untuk endurance.

Di tengah jalan, ketika saya berhenti mengumpulkan napas di kawasan Pandaan (sekitar km 40), saya mengangkat telepon saya yang bergetar. Rrrrr, rrrrr. Layar menunjukkan nama teman sepeda saya, Si Dokter T. Karena di jalan ramai, saya hanya mendengar dia bilang, "Tolong, sepeda saya rusak."

Ternyata, setelah berhasil menghubunginya, dia berada di kawasan yang berbeda, walau tidak terlalu jauh dari Pandaan. Tepatnya di sebuah tanjakan populer anak-anak Surabaya, disebut "Kesiman" di Trawas. Di sana, dia kesulitan mencari kendaraan yang bisa membawanya turun kembali ke jalan besar.

Setelah menemukan ojek yang mau membantu, maka saya menyusul teman saya itu. Jaraknya sebenarnya tidak jauh, mungkin hanya 5-7 km dari tempat saya menerima telepon. Tidak jauh, tapi ketinggiannya beda banget. Saya butuh beberapa lama untuk menanjak, mencapai lokasinya.

Ternyata, anting alias "rear dropout" sepedanya patah. Jelas saja dia tidak bisa meneruskan perjalanan naik maupun kembali turun. Rupanya, Si Dokter bersepeda sendiri karena ingin berlatih jalan mendaki. Dan dia rupanya niatnya begitu besar, bisa dibilang "ride until your bike broke."

Ketika sudah dibantu dengan sepeda motor dan turun kembali ke jalan besar, maka dia pun berhasil dijemput mobil sewaan dan pulang sampai ke Surabaya. Karena saat itu matahari sudah mulai tinggi, saya pun ikutan kembali ke Surabaya. Sayangnya masih dengan naik sepeda.

Sembari gowes pulang, saya berpikir. Lucu juga teman saya si dokter ini. Dia dokter orthopedi. Bahasa umumnya tukang sambung tulang. Dropout-nya patah dia tidak bisa nyambung sendiri! Wkwkwkwk...

Dan lagi, kok ya kebetulan saya sedang tidak jauh dari sana. Kalau tidak ketemu orang yang bisa membantunya, bisa capek gendong sepeda turun gunung doi. Kasihan kalau ada pasien yang menunggu.

Ya ini maksud saya kalau sudah jodoh tak akan ke mana. Tidak janjian bersama ternyata bisa bertemu di atas gunung.

Setelah saya sampai di Surabaya, ternyata si dokter yang sudah lebih dulu pulang dengan mobil sewaan sempat membeli Ote-Ote Porong yang kondang, lalu mengirimkannya ke saya sebagai ucapan terima kasih.

Ini jodoh perut saya yang lapar!

Moral dari cerita ini adalah: Kalau Anda ingin mengirimi saya makanan tidak perlu merusakkan sepeda Anda di gunung lalu minta saya membantu. Langsung berikan saja ke saya. Tidak apa-apa. Terima kasih. (johnny ray)


COMMENTS