Test Ride: Kenikmatan Baru Pakai Grupset Gravel Shimano GRX

Tahun ini seharusnya jadi tahun seru. Saya, John Boemihardjo, dan Johnny Ray lolos "lotere" dan diterima ikut balapan gravel paling bergengsi, Dirty Kanza 200, pada 30 Mei nanti di Amerika Serikat. Kemungkinan besar, acara itu bakalan batal atau ditunda. Namun, persiapan sudah kami mulai sejak lama. Termasuk salah satunya, merasakan grupset gravel khusus Shimano, GRX.

Ketika grupset itu diluncurkan tahun lalu, kita di Indonesia memang harus menunggu lama sebelum bisa melihatnya. Ketika kami melakukan pertemuan khusus dengan Shimano di Singapura, mereka menyebut kalau distributor di Indonesia "missed the first batch" alias tidak melakukan pemesanan ketika grupset itu dirilis kali pertama.

Baru belakangan grupset itu masuk Indonesia. Dan saya memasangnya pada sepeda gravel yang kami kembangkan sendiri, Wdnsdy Journey. Hitung-hitung untuk persiapan seandainya jadi ikut Dirty Kanza, balapan 320 km dalam sehari itu, nanti.

Sebelum ini, kami "terpaksa" memasang Ultegra Disc Brake pada Journey kami. Karena kebetulan hanya itu --dan 105 Disc-- yang tersedia dari Shimano di Indonesia.

Harus diingat, jalanan gravel alias makadam alias kerikil berjarak puluhan --apalagi ratusan-- km sulit didapatkan di sekitar Surabaya (dan Jakarta). Jadi, latihan menuju DK 200 memang harus siap kami lakukan banyak di jalanan beraspal. Yang penting terbiasa naik sepeda gravel dan tahan gowes ratusan km dengan minimal support dan pit stop.

Shimano GRX sendiri dirancang khusus untuk gravel/adventure/allroad. Dan ini termasuk grupset yang sangat fleksibel. Bisa dibuat 1x (satu chainring) atau 2x (dua chainring). Bisa elektronik (Di2) atau mechanical. Bisa dipadu berbagai komponen lain, misalnya cassette (sproket) MTB atau road.

Komponen pun bisa dikombinasi sesuai kemampuan kantong. Ada yang level 800 atau setara Ultegra. Atau setara 105. Bahkan bisa 10-speed setara Tiagra.

Untuk DK 200, kami nantinya mungkin akan memakai setelan 1x, dengan chainring 42T, lalu dipadu sproket 11-42 di belakang. Kemudian menggunakan ban lebar tubeless 40 mm.

Karena yang 1x belum available, maka kami pun memakai yang 2x mechanical. Dengan setelan paling luwes untuk kebutuhan kecepatan road dan kemudahan offroad.

Shimano GRX yang saya coba adalah full level Ultegra. Dengan kombinasi chainring unik 48-31 di depan, sproket 11-34 di belakang. Wheelset yang saya pakai adalah HED Belgium+ Disc, dipadu ban gravel baru dari Pirelli: Cinturatto Gravel 40 mm tipe H (hard), yang masih oke dipakai di permukaan aspal.

Serunya sepeda gravel, kita tak butuh komponen karbon termahal. Kokpitnya Ritchey alloy yang terjangkau, dengan pilihan handlebar Venturemax yang pegangan bawahnya melebar cukup ekstrem. Itu untuk menyediakan pegangan ideal bila memasang tas handlebar lebar. Sekaligus membantu "pegangan" lebih solid saat melewati jalanan berkerikil. Sadelnya Fabric Scoop yang juga terjangkau harganya.

Yang saya suka adalah pedalnya. Shimano PD-ES600. Menggunakan cleat model SPD (offroad) tapi dengan platform lebar agar lebih stabil ala road. Kategori gravel ini benar-benar jadi inspirasi untuk produk-produk baru!

Terus terang, saya belum banyak menggunakan Shimano GRX ini jalur offroad. Apalagi telanjur darurat Covid-19, jadi tidak sempat bepergian jauh untuk menjajalnya lebih intensif. Namun, saya sempat beberapa kali membawanya, termasuk ke tanjakan-tanjakan di sekitar Surabaya.

Kesan pertama? Saya langsung jadi fans GRX. Khas Shimano. Smooth, gampang. Yang paling membuat saya kagum: Rasio chainring dan girnya. Kombinasi 48-31 depan itu jenius!

Menurut Shimano, jarak 17 gigi antara ring besar dengan ring kecil adalah yang terbesar yang pernah mereka buat. Tapi menurut saya mampu menemukan sweet spot. Apalagi dikombinasi 11-34 di belakang.

Di datar dan turunan, melaju 50 km/jam plus masih tidak menyiksa. Dan ring kecil 31, benar-benar menyenangkan. Di tanjakan, dengan ring depan kecil itu, kita tidak dipaksa memakai gir besar di belakang. Tanjakan 10 persen masih bisa diambil dengan gir "tengah" di belakang. Karena di tengah, lompatan antar gir jadi tidak terlalu jauh. Cadence tidak melonjak-lonjak ringan dan berat.

Saya bisa membayangkan, ketika melewati jalanan offroad atau gravel, dan ketika ada tanjakan curamnya, kombinasi gir ini bakal istimewa. Apalagi rear derailleur (RD) dilengkapi sistem "kopling." Rantai jadi tidak lompat-lompat membentur frame, lebih mulus. Saya jadi ingin pakai kombinasi 2x ini kalau jadi ikut DK 200 nanti.

Pilihan gir buat saya pribadi memang agak sensitif. Ada beberapa grupset yang bikin saya ilfil karena kombinasi chainring dan sproketnya --menurut saya-- agak eksperimental.

"Pegangan" shifter GRX juga jadi favorit. Walau pada dasarnya mirip Ultegra. Tapi ada beberapa perbedaan. "Pivot" tuas remnya beda, jadi lebih "ringan" tarikannya. Dan hood-nya ditambahi guratan lebih tebal, tangan jadi menggenggam lebih solid. Tidak khawatir terlepas karena licin kena keringat.

Posisi shifter yang miring karena handlebar-nya flare out (melebar)? Tidak masalah sama sekali. Bahkan saya cukup suka. Asal tahu saja, banyak pembalap profesional dunia belakangan mengadopsi gaya shifter miring ini pada road bike normal. Kata mereka, selain lebih nyaman, juga membantu posisi lebih aerodinamis. Tapi tiap orang seleranya beda-beda!

Overall, Shimano GRX semakin mengukuhkan kalau segmen gravel benar-benar eksis di dunia. Sebagai informasi, kalau di pasar Amerika, penjualan sepeda gravel/allroad sudah mendominasi. Bahkan mencapai 60-70 persen dari total penjualan sepeda di sana. Karena itu sekarang ini semua merek besar ramai-ramai terjun ke segmen ini.

Tak sabar rasanya menunggu GRX versi Di2 atau yang versi 1x. Dan semoga krisis virus dunia ini segera berakhir, supaya kita semua bisa segera kembali ke jalanan. Ke segala macam jalanan! (azrul ananda)


COMMENTS