Sepuluh Produk Paling Saya Sukai 2019

Saya bukan orang lama di arena sepeda. “Hanya” delapan tahun kalau menghitung sejak kali pertama beli sepeda single speed. Setelah itu, setelah kecanduan, hobi ini jadi bablas. Tak terasa punya lebih dari 60 sepeda dari berbagai bahan dan merek. Serta termasuk doyan bereksperimen dengan berbagai komponen dan aksesori. Yang kenal saya mungkin tahu dengan obsesi saya tersebut. Hater juga mungkin banyak, wkwkwk

Banyak orang bertanya kepada saya. Barang apa saja yang jadi favorit saya. Bertanya secara langsung, via WA, atau bahkan lewat akun Strava saya.

Karena itu, saya jadi kepengin menulis barang-barang favorit itu. Sepuluh tepatnya. Secara random. Catatan khusus: Tidak satu pun barang adalah barang endorse-an. Semua saya beli sendiri. Bahkan selama bertahun-tahun saya menolak barang endorse-an. Karena saya ingin industri sepeda benar-benar maju di Indonesia!

Berikut sepuluh barang favorit itu secara random. Sama sekali tidak ada tujuan promosi, hanya perasaan pribadi.

1. Ban Challenge Strada

Sebelum kenal ban ini, ban favorit saya adalah Continental GP4000s II. Ban Jerman itu nyaman, tangguh, dan konsisten walau sudah dipakai lama. Ban lain mungkin ada yang lebih empuk, tapi karakternya bisa berubah setelah beberapa bulan. Mungkin ada pula yang lebih “cepat,” tapi ketahanannya menyebalkan.

Kemudian, karena ikut mensponsori tim Point S-Nokian di Amerika, saya jadi kenal ban merek Challenge. Kebanyakan tim balap pakai ban tubular, tapi tim yang disponsori Enve ini memilih ban clincher.

Setelah menjajalnya, saya tahu kenapa ini ban dipakai balapan. Fast rolling sekali, menggigit, dan bikin pede di tikungan, dan –yang paling utama-- aman saat memang terjadi bocor/pecah. Ban clincher biasa bisa lepas dari rim saat pecah, mengakibatkan masalah/kecelakaan. Challenge Strada ini adalah open tubular. Kalau pecah, dia langsung flat alias rata dengan rim, persis ban tubular.

Masalahnya satu: Memasangnya termasuk sulit sekali. Sangat rapat/tight dengan rim. Mekanik-mekanik rata-rata sebal ketika disuruh memasang ban ini. Saya sendiri malas memasang sendiri. Wkwkwk

 

2. Hub DT Swiss 240s

Sebagai kolektor, saya sudah pernah tergoda membeli barang-barang supermahal. Wheelset seharga di atas 60 juta, ceramic bearing termahal, dan lain sebagainya. Setelah bertahun-tahun gowes, dan setelah melahap sekitar 20 ribu kilometer per tahun, pada akhirnya substance mengalahkan style. Fungsi dan kepraktisan/kemudahan mengalahkan gaya.

Dari sekian banyak wheelset, beli jadi maupun custom, saya jadi jatuh cinta dengan hub merek DT Swiss, tipe 240s. Bukan ceramic bearing, tapi fast rolling. Yang paling penting, sangat mudah perawatannya. “Membuka”-nya tidak butuh alat. Cukup pakai tangan.

Rekomendasi awal dulu gara-gara pesan wheelset custom ke Wheelbuilder di kawasan Los Angeles. Sekitar 2015. Mereka bilang tak perlu ceramic. Pakai 240s saja. Sejak saat itu hub ini jadi favorit saya. Ratchet-nya juga bisa diganti kalau butuh reaksi putar lebih cepat.

 

3. Sepeda Gravel

Dari sekian banyak sepeda di rumah (dan kantor) saya, ada dua yang gravel bike. Yaitu Trek Checkpoint dan Wdnsdy Journey.

Di Amerika (dan dunia secara keseluruhan), sepeda gravel sedang booming luar biasa. Bahkan, di Amerika, 60 persen penjualan adalah jenis sepeda balap yang bisa diajak keluar dari jalur aspal ini (allroad).

Mengingat jalanan di Indonesia rata-rata jauh dari kata mulus, saya jadi doyan naik gravel bike. Pakai ban 35 mm, atau bahkan 40 mm, lalu dengan tenang melaju melewati jalan bumpy (bergelombang) atau bahkan rusak kasar.

Beberapa tahun lalu, setiap keluar latihan saya selalu memburu rekor pribadi (PR). Belakangan, saya jadi lebih mencoba menikmati. Tidak tiap hari mengejar PR. Di saat tidak mengejar PR itu, tunggangan paling bisa dinikmati ya gravel bike ini. Toh latihannya sama, walau mungkin catatan waktu di Strava-nya saja yang tidak bisa PR.

 

4. Tas Biknd Helium

Yang sering traveling pasti tahu ribetnya bongkar pasang sepeda. Apalagi kalau travel-nya jauh, menuntut kita untuk mandiri tanpa bantuan mekanik satu pun. Saya sudah punya beberapa koper sepeda, baik yang soft case maupun hard case. Pada akhirnya, saya selalu suka menggunakan Biknd Helium. Saya punya dua, versi lama yang sudah saya pakai sejak 2012, lalu versi terbaru (V4) yang bisa dipakai untuk sepeda disc brake.

Kenapa suka? Satu, ini tergolong soft case. Lebih ringan, dengan dimensi lebih ringkas. Memudahkan kita kalau ingin menambah “muatan” (mengangkut belanjaan pulang).

Kedua, Biknd Helium bisa mengangkut dua wheelset. Jadi bisa bawa spare saat bepergian. Berguna kalau kita pergi berkelompok, wheelset cadangan itu bisa berguna untuk banyak orang.

Kelemahan utama tas ini: Balonnya gampang pecah. Balon di kedua sisi dinding tas itu berguna sebagai peredam benturan. Biknd memberi garansi, dan mengganti secara gratis. Tapi kemudian bocor lagi.

Solusi terbaik: Mengganti balon itu dengan foam. Tinggal beli foam agak tebal, lalu dipotong sesuai ukuran tas. Praktis! Tidak perlu capek memompa, dan tetap melindungi dengan sempurna!

 

5. Pedal Speedplay

Tiap orang punya kesukaan beda. Kebanyakan orang mungkin pakai pedal Shimano atau Look. Saya pun punya sepeda yang disetel dengan dua pedal itu. Tapi, sebagai pilihan pribadi, saya sangat cocok dengan Speedplay.

Alasannya karena kaki saya memang error. Lutut kanan saya pernah direkonstruksi, gara-gara cedera parah sepak bola, lalu dipasangi baut permanen. Efeknya, tumpuan saya pindah ke kaki kiri. Setelah sekian lama, engkel kiri saya agak “memutar” ke luar. Tidak lurus dengan yang kanan.

Kalau pakai pedal, saya suka yang “paten” alias mengunci. Bukan yang floating atau agak longgar. Sehingga, kalau pakai Shimano atau Look, bagian luar kaki kiri saya (dari paha sampai engkel) sering sakit.

Dengan pedal Speedplay, posisi kaki bisa disesuaikan, karena pedal ini bisa disetel/putar sesuai kebutuhan kaki. Kemudian, dikunci paten tidak goyang. Cukup memakai obeng bintang biasa, posisi pedal bisa “diputar” supaya engkel miring ke kiri atau ke kanan. Ini cocok sekali karena kaki kanan dan kiri saya beda!

Tentu butuh jam terbang tinggi untuk memahami badan sendiri. Tiap orang punya kebutuhan beda. Kebetulan kaki saya begini…

 

6. Garmin 1030

Selama tujuh tahun terakhir, entah berapa Garmin sudah saya hancurkan. Baik itu hancur terlontar jatuh, atau rusak karena pemakaian. Selama berbulan-bulan, Garmin 520 sempat jadi favorit. Memang tidak touchscreen, tapi itu membuatnya lebih ideal saat berhujan-hujan ria dan baterainya lebih awet.

Kemudian saya beli Garmin 1030. Memang bukan paling murah. Bahkan tergolong paling mahal. Namun, saya jadi jatuh cinta.

Satu, screen-nya besar. Saya bisa men-display tujuh alat ukur penting secara nyaman. Mungkin karena saya mulai berumur wkwkwk, jadi mata butuh tampilan layar yang besar!

Dua, baterainya awet sekali. Cocok saat gowes seharian penuh di atas 200 kilometer. Sama sekali tidak khawatir kehilangan data. Menghilangkan trauma saya membeli Garmin 1000 dulu.

Tentu saja, dengan layar lebar, untuk navigasi ini enak. Dan itu kabarnya adalah andalan utama Garmin 1030. Saya sih belum banyak pakai navigasinya. Wong belum pernah diajak bepergian tidak jelas…

Baru-baru ini, saya membeli komputer baru, Stages Dash L50. Layarnya juga besar, warna, dan menawarkan fungsi-fungsi training termutakhir. Saya belum cukup memakainya untuk membandingkannya dengan Garmin-Garmin terdahulu. Siapa tahu ini jadi barang favorit saya untuk 2020 nanti.

 

7. Helm POC

Sejak kali pertama melihatnya pada 2013, saya langsung jatuh cinta dengan helm POC Octal. Terlihat agak aneh, namun menurut saya keren. Saya pun mengoleksi hampir semua warna POC Octal itu. Terakhir, saat dirilis POC Ventral dan Omne, saya juga beli.

Walau saya juga mengoleksi merek-merek helm lain (kecuali Oakley, yang sama sekali tidak bisa pas di kepala), POC Octal tetap punya tempat spesial. Saya bahkan bisa dibilang berhutang nyawa.

Saat kecelakaan ditabrak motor pada akhir 2018 lalu, kepala dan bahu kanan saya menghantam aspal dengan sangat keras. Saya mengalami patah tulang lima bagian, dan helm POC Octal Aero yang saya pakai pecah. Alhamdulillah, sama sekali tidak ada cedera pada kepala. Lecet di wajah pun tak ada sama sekali.

 

8. Aplikasi Latihan Indoor

Saya langganan tiga aplikasi latihan indoor. Ada Zwift, ada TrainerRoad, ada Sufferfest. Belakangan, jadwal main sepeda saya jauh berkurang, karena kesibukan dan lain sebagainya. Berkat aplikasi latihan indoor, saya bisa terbantu menjaga kondisi. Bisa sore sepulang kerja, bisa malam sebelum tidur, atau pagi ketika hanya punya waktu satu jam sebelum meninggalkan rumah.

Saya paling merasakan manfaatnya saat habis kecelakaan itu. Saat bahu dan lengan masih ditahan pakai sling, saya sudah bisa mulai latihan indoor hanya delapan hari setelah operasi. Alhasil, saat bahu dan lengan pulih, saya sudah siap kembali ke jalan dengan “normal.” Bahkan sudah bisa gowes normal di jalan bersama teman-teman hanya tiga pekan setelah operasi!

Aplikasi indoor training yang saya pakai setelah operasi patah bahu

 

9. The Black Bibs

Normalnya, di arena sepeda ada istilah “ada harga ada barang.” Belakangan, seiring dengan semakin meluasnya olahraga ini secara global, harga tidak lagi jadi pembeda utama dalam hal performa.

Hanya beberapa tahun lalu, terus terang saya tidak berani pakai bib short harga murah. Selalu terasa selisih kenyamanan antara yang mahal –seperti Rapha, Assos-- dengan yang “merek murah.”

Belakangan, selisih itu makin sulit dirasakan. Bib short harga Rp 800 ribu dengan Rp 3 juta tidak terasa seperti bumi langit.

Kemudian, muncul rekomendasi dari rekan di Amerika. Bib short merek “The Black Bibs” yang bisa didapatkan secara online. Harganya terbilang sangat murah, USD 40 untuk yang normal dan USD 65 untuk yang “plus” dengan karet paha silicon yang lebih nyaman.

Slogannya cukup menarik. “No labels. No BS. Undeniably Affordable.” Artinya “Tanpa Label. Tanpa Banyak Janji. Jelas Terjangkau.”

Ketika kali pertama memakainya, memang sempat ada keraguan. Mengingat bib short yang payah bisa berakibat menyakitkan di bagian paling sensitif. Ternyata, The Black Bibs memang memuaskan. Jadi makin malas beli yang mahal-mahal!

 

10. Maxstream

Sebagai penggemar balap sepeda, saya sudah beberapa kali patah hati dalam menonton. Yaitu ketika saluran kabel yang saya pasang di rumah berhenti menayangkan Eurosport, lalu saluran lain yang saya pasang juga berhenti menayangkannya.

Padahal, kalau mau nonton balap sepeda ya lewat saluran itu. Khususnya lomba-lomba terbesar seperti Tour de France dan Giro d’Italia.

Terima kasih Telkomsel, sekarang ada aplikasi Maxstream. Menayangkan berbagai channel, termasuk Eurosport. Sekarang, bisa nonton balap sepeda di mana saja. Asalkan sinyalnya jelas (karena tidak bisa pakai wifi).

Semoga aplikasi itu tidak mengubah isi untuk 2020 nanti. Dan kita bisa menonton balapan-balapan paling bergengsi sejak bulan Januari. Dimulai dengan Tour Down Under di Australia! (azrul ananda)


COMMENTS