Idselap Taklukkan Ironman Emilia Romagna dan Mengagumi Gowes di Dolomiti

“Jika kamu ingin pergi cepat, pergilah sendiri. Jika ingin pergi jauh pergilah bersama-sama”. Ungkapan ini sering terdengar dan komunitas Idselap dari Jakarta mempraktekkannya.

“Kita mengikuti even Ironman Emilia Romagna di kota Cervia, Italia. Nah, biar seru, total 26 orang berangkat bersama-sama ke Italia,” tutur Moehammad Adhitya yang akrab disapa Igo, salah satu pentolan Idselap.

Ironman merupakan olahraga tri (renang, sepeda, dan lari) yang paling berat. Harus berenang sejauh 3,8 km, lalu disambung bersepeda sejauh 180 km sendirian tidak boleh drafting. Dan terakhir, harus lari full marathon 42 km.

Agar bisa lulus Ironman, perlu mental baja. Sekaligus dukungan kawan. “Dengan pergi ramai-ramai gini pasti saling dukung agar bisa lulus Ironman semuanya,” imbuh Go Siauw Hong, salah satu anggota Idselap.

Mereka berangkat dari Jakarta tanggal 17 September. Even Ironman masih tanggal 22 September. Mereka perlu menyesuaikan diri terutama suhu udara sebelum mengikuti even akbar itu.

Dalam masa penyesuaian, seluruh anggota Idselap jalan-jalan. Mendatangi pabrik Ferrari di Modena dan Lamborghini jadi agenda pertama. “Amazing sekali melihat pabrik Ferrari. Nggak kalah dengan rumah sakit bersihnya. Sangat berteknologi tinggi. Full robot yang mengoperasikan mesin perakitan mobil,” puji Igo.

Setelah puas melihat pabrik perakitan dua supercar dunia asal Italia ini, rombongan Idselap langsung menuju kota Cervia tempat diadakannya ironman. “Waktu tinggal dua hari sebelum even. Jadi kita harus latihan lari dan berenang dulu agar badan tidak kaget,” tukas Budi Danuningrat, salah satu peserta.

Akhirnya, hari H even Ironman yang ditunggu-tunggu oleh rombongan Idselap inipun tiba, tanggal 22 September. Hebatnya, hampir seluruh anggota Idselap bisa menyelesaikan ironman!

“Sayang sekali, istri saya belum bisa lulus ironman ini karena pinggangnya sakit saat bersepeda. Memang beberapa saat sebelum even, Ade mengalami kecelakaan dan sekarang ini sebetulnya masih tahap pemulihan,” tukas Igo.

Rupanya, tujuh orang anggota idselap masih kurang puas dengan Ironman. John Boemihardjo, cyclist asal Surabaya yang sudah berteman akrab dengan Idselap ini mengajak mereka untuk gowes di pegunungan terindah di dunia, Dolomiti. Dan mereka mengiyakannya! Budi Danuningrat dan Lisa Abdul juga ikut jadi tim support meskipun tidak gowes di Dolomiti. "Ingin melihat keindahannya sekalian support teman-teman yang gowes," ungkap Lisa.

Dari Cervia, tujuh orang itu, Ade Diantini Masnahumina, Moehammad Aditya, Helen Tan, Thomas Tjahjono, Suryo Endropriyanto, John Boemihardjo dan Go Siauw Hong menyewa mobil menuju Corvara. Kota kecil di pegunungan Dolomiti.

Corvara adalah kota yang sangat kuat nuansa olahraganya. Sepanjang tahun tidak pernah sepi dari even olahraga. Saat musim panas dan gugur banyak olahraga cycling dan hiking. Musim dingin dan semi digunakan untuk olahraga ski.

Di kota yang nyaman ini, mereka menginap di hotel Garni Raetia yang dikelola oleh orang Australia. “Mumpung di Italia dan John bercerita bahwa Dolomiti sangat indah. Saya ingin buktikan!” tukas Thomas Tjahjono yang berprofesi sebagai dokter anestesi.

Helen Tan mengaku tidak pernah bosan dengan pegunungan ini. “Indahnya setengah mati. Nggak bisa diceritakan, nggak bisa dibayangkan. Harus disaksikan sendiri. Sudah dua kali saya ke sini. Saya tidak pernah bosan dan selalu kangen.”

John yang sudah pernah gowes menaklukkan enam gunung dalam sehari di Dolomiti dalam even Maratona Dolomiti tahun 2017 lalu didaulat menjadi guide. “Hari pertama rute Sella Ronda. Panjangnya 51 km dengan total elevasi mencapai 1800 meter,” tutur John.

Ketujuh cyclist ini sanggup menyelesaikan rute hari pertama dengan lancar. “Tanjakannya sangat enak tidak terlalu menyiksa. Bisa dinikmati. Apalagi sejauh mata memandang tidak ada pemandangan jelek!” puji Ade.

Senada dengan Ade, Suryo-pun sangat terkesan dengan Dolomoti. “Tidak cukup memori handphone saya untuk merekam dan memotret semua pemandangan indah ini!” tuturnya.

Hari kedua, seolah tidak ada capeknya. Ketujuh cyclist ini melahap menu yang lebih ekstrem. Tanjakan Passo Giau. Ini tanjakan untuk mencapai ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Total jarak hari kedua ini sejauh 80 km dengan total elevation gain mencapai 2.300 meter.

Mulai dari bawah yang banyak pohon, rumput dan tanaman lain hingga ke puncak yang sangat gersang. “Pohonpun sudah tidak bisa tumbuh lagi di ketinggian ini. Makanya gersang,” terang John.

“Tanjakan hari kedua ini berasa banget. Panjang dan tidak ada habisnya. makin lama makin berkurang hijau-hijaunya dan makin sepi. Rasanya tidak sabar ingin segera sampai puncak,” tutur Igo.

Selain tanjakan yang tidak ada habisnya, ketujuh cyclist ini harus perang melawan dingin. “Kalo nanjak jaket dibuka karena panas meskipun udara sangat dingin. Tapi kalo turunan, jaket harus dipasang semua biar nggak kedinginan. Jadi capek sendiri buka tutup terus,” tutur Budi Danuningrat tertawa.

Thomas yang mengenakan jaket tiga lapis masih merasakan dinginnya udara bulan September. “Tidak kuat rasanya menghadapi dinginnya udara. Apalagi saat turunan. Pipi, bibir, jari jangan semuanya seperti mati rasa,” cerita Thomas sambil tergelak.

Menurutnya, gowes menanjak di Dolomiti justru lebih menyenangkan daripada turunannya. “Kala nanjak, badan hangat, dan nanjak pasti pelan jadi bisa menikmati pemandangan kiri kanan. Kala turunan, pasti kedinginan kena angin. Selain itu nggak bisa melihat pemandangan karena harus perhatikan turunan,” tuturnya.

Suryo Endro juga tidak menyesal gowes ke Dolomiti ini. “Setelah menjalani dua hari gowes menanjak Dolomiti, rasa capek hilang semua! Dibayar lunas oleh pemandangan yang eksotis dan hawa yang menyenangkan!” bilangnya.

Selesai gowes di Dolomiti, ketujuh cyclist ini menceritakan pengalaman terindahnya itu ke semua anggota Idselap yang memilih tidak ikut. Dan hasilnya? Sepertinya tahun depan, bakal ada “Idselap Dolomiti tour” dengan jumlah peserta melebihi tahun ini. (mainsepeda)

 

 

 


COMMENTS