Jarak Kurang 30 Km, “Jorge” Lupa Damai

Hari keempat Tour Surabaya-Labuan Bajo, kelompok kami meninggalkan Lombok menuju Pulau Sumbawa. Yang melegakan, hari bersepeda 160 km itu berjalan ahead of schedule. Walau itu juga gara-gara ada kelupaan pada perjanjian damai pada 30 km terakhir menuju Sumbawa Besar…

“Yang paling utama niatnya, mentalnya. Yang lain tinggal mengikuti”. Begitu ucap Tonny Budianto, peserta touring yang sudah berusia 58 tahun.

Dia mengucapkan itu saat makan malam di Praya, Lombok, setelah menyelesaikan touring hari ketiga. Tepatnya saat ditanya tentang apa persiapan paling penting untuk menghadapi acara gila seperti ini.

Pada hari keempat, Jumat, 2 Februari, Tonny menunjukkan niat seru, sampai bikin yang lain teriak-teriak. Tapi itu di penghujung hari. Sebelumnya, segalanya berjalan lancar dan damai…

Sesuai kesepakatan, pada hari keempat kami berangkat pukul 06.00 WITA. Dari penginapan di Praya, Lombok, menuju Pelabuhan Kayangan. Jaraknya 70 km. Lalu kami naik feri ke Pulau Sumbawa, dan melanjutkan lagi gowes sejauh 92 km menuju perhentian selanjutnya di Sumbawa Besar.

 

 

Menurut perkiraan, kami tiba di pelabuhan pukul 10.30. Syukur alhamdulillah, ternyata jalannya banyak turunan. Di 20 km awal sempat khawatir karena menanjak, tapi setelah itu lebih banyak turunan.

Walau sempat istirahat sejenak untuk isi minum, kami sampai di pelabuhan pukul 9.30. Satu jam lebih cepat! Awal yang relatif mudah untuk peserta baru, Cipto S. Kurniawan, yang baru bergabung di Lombok.

Lagi-lagi, kami disambut oleh teman-teman dari PT Dharma Lautan Utama, dipimpin manager cabang Listyono Dwitutuko. Kami dengan halus menolak tawaran sarapan, karena memang belum lapar dan melihat peluang menyeberang lebih cepat.

Benar, kami dibantu naik feri pukul 10.00. Walau sempat harus antre bersandar di Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa, kami tetap sampai hanya dalam waktu kurang dari tiga jam.

Kami makan siang dulu di pelabuhan, lalu memulai perjalanan menuju Sumbawa Besar.

Hujan memang mengawali perjalanan, tapi kami tidak lagi peduli. Karena melihat pemandangan seru. Maklum, bagi hampir semua, ini kali pertama menginjakkan kaki di Pulau Sumbawa. Kecuali Go Suhartono (Ko Hay) dan Francesco Bruno (Cecco). 

Khusus Cecco, dia pernah tinggal bertahun-tahun di pulau ini. Jadi sebenarnya dialah guide kami. Ironis, karena di sepanjang jalan dia terus disapa warga setempat dengan panggilan “Mister! Mister!”. Mereka mengira dia turis yang baru datang. Padahal ini terbilang “bule palsu” karena lebih hafal Sumbawa dari kebanyakan orang! Wkwkwkwk…

Jalan lumayan mengasyikkan. Menyusuri pantai. Naik, turun, naik, turun, belok kanan, belok kiri, tidak membosankan.

 

 

Sebenarnya kami ada sedikit perjanjian damai. Menghemat tenaga, karena dua hari terakhir menuju Dompu dan Sape adalah dua etape yang berat.

Tapi mungkin karena keasyikan, 30 km terakhir menuju Sumbawa Besar terjadi “kelupaan”. Tonny Budianto maju ke depan, melejit kencang membuat kelompok berantakan.

“Saya maunya narik rombongan sejauh lima kilometer. Tapi kemudian di belakang teriak-teriak”, tuturnya.

Wawan, panggilan Cipto, termasuk yang teriak-teriak. “Jorge! Sabar Jorge! Ampun!”, teriaknya.

Ha ha ha, Tonny memang sering dijuluki “Jorge Lorenzo” (mantan pembalap MotoGP Yamaha yang sekarang di Ducati) oleh teman-teman sepeda di Surabaya. Selain karena dia punya dealer motor Yamaha, dia termasuk paling berani dan cepat dalam hal turunan!

Sebelum “Jorge” attack, keluhan utama kami adalah pantat yang mulai panas. Selain karena capek hari itu, juga karena kumulatif capek sejak Surabaya! Setelah “Jorge” attack, pantat tidak lagi sakit. Tapi badan semua yang sakit!

Untung sampai penginapan pukul 17.30. Itu pun setelah sempat foto-foto di depan Kantor Bupati Sumbawa. Jadi malamnya sempat makan kenyang, tidur enak.

 

 

 

 

Dan kami sempat meeting dulu menyiapkan rencana hari kelima, yang merupakan hari terberat. “Queen stage”, kata Cecco.

Jarak dari Sumbawa Besar ke Dompu hampir 200 km, dengan jalan naik-turun, total menanjaknya kalau disatukan hampir setara naik ke Bromo.

Yang terpenting adalah mengatur ritme. Semoga saja “Jorge” tidak lagi lupa perjanjian damai… (bersambung)

 

Foto: Azrul Ananda School of Suffering (follow IG @aasos_indonesia)

 

 

 

 

 


COMMENTS