Semakin Sadar Pentingnya Planning dan On Time

Untuk bikepacking sejauh Surabaya ke Labuan Bajo, perencanaan adalah segalanya. Kapan harus sampai mana, berapa lama perjalanan, semua harus dihitung sebaik mungkin. Untuk kelompok cepat, on time-nya hari kedua Rabu, 31 Januari, kemarin menunjukkan pentingnya planning.

Bikin planning Surabaya-Labuan Bajo tidak semudah melihat peta. Harus menghitung beberapa kali menyeberang pulau, dan itu berarti harus tahu jam berapa naik feri atau fast boat. Kemudian menyesuaikan rute dan hari berdasarkan jadwal-jadwal itu, memastikan kilometer dan waktu bersepedanya realistis dengan kemampuan.

Kami beruntung ada Francesco Bruno alias Cecco, bule asal Italia yang tinggal di Lombok dan Bali. Dialah kunci perencanaan tur ini. Karena dia memang hobi touring naik sepeda dan tahu mayoritas rute, khususnya setelah lepas dari Pulau Jawa.

Hari kedua Rabu, 31 Januari kemarin, akurasi jadwal luar biasa terbukti. Kami tahu harus bersepeda dari Situbondo menuju Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, sebisa mungkin sebelum makan siang. Jarak dari penginapan kami ke pelabuhan adalah 82 km.

Setelah itu kami harus mendapatkan feri yang jamnya pas, supaya tidak membuang waktu lama di pelabuhan dan di atas feri. Karena kami sadar, begitu sampai di Pelabuhan Gilimanuk di Pulau Bali, kami masih harus bersepeda sekitar 90 km menuju penginapan di Singaraja.

Harus dihitung pula perubahan jam dari WIB ke WITA. Jadi kami “hilang” satu jam, harus memastikan sampai penginapan sebelum gelap.

Di hari kedua, segalanya berjalan pas!

Berangkat dari penginapan tepat pukul 06.00 WIB, kami melaju konstan menuju Ketapang. Rute awal ini termasuk agak berat, karena kami harus menghadapi jalur menanjak (dan naik-turun) di Alas Baluran.

 

Kalau naik road bike biasa itu enteng. Ini naik sepeda touring, dengan bawaan berat (total berat sepeda dan angkutan sekitar 25-30 kg, plus pengendaranya). Mantap beratnya!

Kami sempat khawatir agak behind schedule ketika baru jalan sekitar 7 km. Ban depan sepeda Go Suhartono (Ko Hay) meletus. Tapi pria 68 tahun itu sangat cekatan mengganti ban dalam, tak sampai sepuluh menit kita sudah melaju lagi.

Di saat melewati Alas Baluran itu kami bertemu dengan banyak monyet-monyet di pinggir atau sedang menyeberang jalan. Mungkin saat melihat kami, monyet-monyet itu heran dan berpikir : “Ngapain monyet-monyet bersepeda ini bawa barang begitu banyak? Kayak gak ada cara lebih gampang saja!”

 

Kami istirahat di RTH Bajul Mati, ngopi dulu dan nyemil. Ditemani rekan-rekan Banyuwangi, termasuk cyclist senior kota itu, yang dikenal dengan sebutan Mbah Gusmbang. Itu km 53, sekitar 29 km dari Pelabuhan Ketapang.

Tancap gas lagi, kami masuk pelabuhan tepat pukul 10.15, dan kami langsung dipandu masuk ke dalam feri KM Satya Kencana II milik PT Dharma Lautan Utama.

 

Direktur perusahaan itu adalah Khoiri Soetomo, salah satu pentolan cyclist di Surabaya dan mentor kesabaran penulis. Di kapal itu kami disambut Kepala Cabang Dharma Lautan Wiweko dan Kapten Syaiful Huda.

Luar biasa, kami benar-benar on time. “Kalau terlambat sedikit saja harus menunggu feri pukul 10.30”, kata Wiweko.

Sampai di Gilimanuk, kami bersepeda tak sampai 2 km untuk makan siang. Lokasinya di Ayam Betutu Bu Lina, resto ayam betutu paling original di Bali. Kami pesan yang tidak terlalu pedas, karena kami tidak ingin ada masalah perut selama perjalanan.

Pukul 13.00 WITA, kami pun tancap gas menuju Singaraja. John Boemihardjo jadi lokomotif utama, menarik di depan. Jalan begitu mulus membuat kami makin sebal mengingat parahnya jalanan di Jawa Timur, dan jalan mulus membantu perjalanan lebih cepat.

Sekitar 40 km dari Gilimanuk, kami berhenti untuk isi minum dan nyemil di sebuah mini market. Di sana kami bertemu Erwin Kohar, cyclist Bali, yang mengenali dan kemudian menyapa kami. Dia lantas memilih ikut mengantar kami ke Singaraja, terus menarik di depan sejauh hampir 50 km.

Ini banyak menghemat energi kami, membantu perjalanan setidaknya 15-30 menit.

Pukul 17.00 WITA kami pun tiba di penginapan. Makan malam normal dan istirahat maksimal.

Total kami bersepeda 170 km, total menanjak hanya sekitar 750 meter. Berarti, dalam dua hari ini kami sudah bersepeda 360 km, dari total hampir 1.050 km yang harus kami kayuh hingga Sape di ujung Timur Sumbawa.

Sekali lagi, perencanaan sangat penting. Seandainya perencanaan buruk dan pace kami tidak sesuai target, maka kami bisa sampai setelah gelap, dan itu berarti istirahat berkurang, dan itu berarti perjalanan hari-hari berikutnya bisa terganggu.

Kabarnya, grup lamban yang berangkat tiga hari sebelum kami mengalami masalah penjadwalan dan kemampuan (salah satu pesertanya agak malas latihan, wkwkwkwk…). Jadi mereka agak berantakan jadwalnya. Kalau benar, maka kami bisa menyalip mereka jauh sebelum jadwal tiba di Sape! (bersambung)

Foto: Azrul Ananda School of Suffering (follow IG @aasos_indonesia)


COMMENTS