Milan-San Remo: Gampang Finis, Susah Menang

Balapan “Monument” pertama 2019, Milan-San Remo, diselenggarakan Sabtu, 23 Maret. Ini balapan one-day yang sangat panjang, 291 km, memakan waktu sekitar tujuh jam.

Di atas kertas, ini adalah balapan Classic untuk para sprinter. Namun jarak dan serial rute naik-turun pada jam terakhir selalu menyuguhkan ending yang tricky. Contohnya pada 2018 lalu, saat climber Vincenzo Nibali sukses melarikan diri dan mencuri kemenangan.

Karena itu, karakter ini paling presisi dideskripsikan oleh Greg Van Avermaet (CCC Team): “Ini balapan yang mudah diselesaikan, tapi sulit untuk dimenangkan.”

Bagi kebanyakan orang, gowes 291 km itu ampun menakutkan. Karena rute relatif datar, bagi pembalap WorldTour, rute itu berlangsung “mudah” dan cepat. Bahkan bisa dibilang membosankan. Sepanjang perjalanan menuju bagian menentukan, hanya ada satu tanjakan, Passo del Turchino (km 143), yang seharusnya tidak menentukan apa-apa.

Bagi para penonton, enam jam pertama balapan juga mungkin tak perlu ditonton. Karena Milan-San Remo selalu menawarkan drama luar biasa pada jam terakhir saja.

Ada dua tanjakan, Cipressa dan Poggio, yang kemudian disusul jalan menurun meliuk-luk bak roller coaster menuju garis finis di Via Roma, San Remo.

Bagi para sprinter, di kombinasi Cipressa dan Poggio ini mereka harus berjuang keras untuk tidak copot. Dengan harapan masuk dalam kelompok yang bakal adu sprint di Via Roma.

Bagi para climber/puncheur, di Cipressa dan Poggio mereka harus tancap gas dan berusaha melepaskan diri dari rombongan. Kalau bisa merontokkan para sprinter. Kalau tidak bisa lari sendirian, diusahakan hanya sedikit orang bertahan.

Tak heran, menghadapi Milan-San Remo 2019, tim-tim kuat menurunkan pasukan “just in case.” Ada sprinter-nya, tapi ada juga climber/puncheur-nya.

Salah satu tim unggulan adalah Deceuninck-QuickStep, yang telah mendominasi musim Classic sejauh ini. Di Milan-San Remo, mereka punya segala kombinasi senjata.

Kalau murni sprint, mereka punya Elia Viviani.

Kalau harus adu copot di babak akhir, mereka punya dua senjata: Philippe Gilbert dan pembalap paling hot saat ini: Julian Alaphilippe.

“Tim ini dalam kondisi baik. Kami tahu cara menghadapi pressure dan sangat siap untuk lomba ini. Milan-San Remo adalah salah satu lomba impian saya. Bahkan ada di puncak daftar yang saya target. Menang di sana bakal amazing. Tentu saja, kami tidak akan sendirian, banyak tim juga pasang target menang. Kami akan datang ke lomba ini penuh motivasi, sangat percaya diri, dan punya rencana,” tutur Viviani.

Saingan utama mereka adalah Bora-Hansgrohe. Sang juara dunia tiga kali, Peter Sagan, akan selalu diperhitungkan di Milan-San Remo. Dia mampu sprint ala sprinter, dan mampu menanjak ala puncheur. Bahkan, Sagan sudah dua kali finis runner-up di San Remo. Pada 2017, dia kalah sangat, sangat tipis dari Michal Kwiatkowski (Team Sky).

Sebagai Plan B, Bora-Hansgrohe punya sprinter asal Irlandia, Sam Bennett.

Tentu saja, ketika para unggulan saling mengawasi, pembalap lain bisa mencuri kemenangan. Dan daftar bintang yang ikut di Milan-San Remo 2019 tergolong panjang.

Juara dunia 2018, Alejandro Valverde, akan mencoba peruntungan untuk Movistar. Sprinter Kolombia, Fernando Gaviria akan di-backup oleh Alexander Kristoff di UAE Team Emirates. Tom Dumoulin (Team Sunweb) juga turun. Plus sederetan bintang lain.

Satu nama yang tidak hadir tahun ini adalah Mark Cavendish. Pembalap Dimension Data itu pernah menang di sini pada 2009. Tapi kondisinya sepertinya belum pulih benar dari sakit tahun lalu, dan memutuskan tidak ikut dulu di Milan-San Remo. (mainsepeda)

JUARA MILAN-SAN REMO LIMA TAHUN TERAKHIR

2018 – Vincenzo Nibali (Bahrain-Merida), solo attack di Poggio

2017 – Michal Kwiatkowski (Team Sky), sprint tiga orang

2016 – Arnaud Demare (FDJ), adu sprint

2015 – John Degenkolb (Giant-Alpecin), adu sprint

2014 – Alexander Kristoff (Katusha), adu sprint

Foto : Lala Sport, Sagan Fondo, Bettini 

 

 

 


COMMENTS