Berdua Taklukkan “Queen Stage” Setinggi 2.400 meter Tanpa Pannier

Setelah hari ketiga yang penuh suka cita karena gowes tidak terlalu berat dan nanjak tidak tinggi. Juga ada pertemuan dengan oma Ere yang penuh keharuan. Tibalah hari keempat, Selasa, 17 September. Ini adalah “queen stage” kami.

Gowes hari ini adalah yang terberat dari seluruh turing ini. Menempuh rute sejauh 126 km dan kami harus menanjak sejauh 2.400 meter!

Berangkat dari kota Ende, Flores, NTT jam 06.30 pagi. Setelah makan pagi di hotel Gran Wisata, kota Ende kami mulai mengayuh pedal sepeda Polygon Impression. Beruntung, hari ini ada bantuan dari Bomax.

Dia adalah guide yang kami sewa dari kota Ende. Dia membawakan barang-barang kami dengan mobil hingga tujuan ke desa Bena di Bajawa, NTT. Menurut saya, ini adalah keputusan paling bijak karena tanjakan yang begitu tinggi dan panjang akan sangat menyiksa apabila ada beban dua pannier di belakang kami.

Sekeluar dari hotel, tidak ada jalan datar. Langsung disambut dengan medan rolling. Kami sempat melewati pantai berpasir hitam yang sangat indah. Memasuki kilometer ke-25 pemandangan menjadi sangat indah.

Kami sempat berhenti dan foto-foto di pantai Blue Stone. Garis pantainya yang sangat panjang berhiaskan batu hijau sehingga pemandangan itu sangat spektakuler.

Perjalanan kami lanjutkan. Tetap saja tidak ada jalan datar. Semuanya rolling tapi lebih banyak nanjaknya. Fiuuhh….. hingga mencapai kilometer ke-43, kami sepakat untuk istirahat dan menikmati kopi lokal.

Puas ngopi, lagi-lagi medan rolling di hadapan kita. Lembah, ngarai semuanya kita lewati berdua dengan Widi. Kami berdua menyatu dengan Polygon Impressa menaklukkan semua tanjakan.

Tepat jam 13.00, kami mencapai kilometer ke-85 dan kami putuskan untuk makan siang. Beruntung, ada rumah makan Handayani di kecamatan Boawae kabupaten Nagekeo, Flores, NTT.

Selepas makan siang, sambutan warga yang memberi semangat kami dengan berteriak mister… miss… membuat kami terhibur. Kami juga sangat dekat dengan gunung Abulobo (2.124 mdpl) yang sangat keren itu.

Tiba di kilomter ke-100, tanjakan masih terus menghantui kami. Saat di desa Matoloko, kami menemukan seminari Todabelu dan kami menyempatkan diri untuk foto dan istirahat sejenak.

Capek mulai melanda. Juga bosan mulai kami rasakan. Saat di kilometer ke-113 kami tidak tahan. Tapi tidak ada jalan lain harus tetap mengayuh bersama.

Kami mulai berhitung. Ini masih ada sekitar 13 km lagi tapi elevasi gain di Garmin tercatat “masih” 2.150 meter. Jadi di depan masih ada nanjak setinggi 250 meter lagi.

Pantat sudah linu, wajah Widi mulai terbakar matahari, kaki kami sudah mulai lemas. Saya mulai halusinasi. Sebentar lagi selesai, sebentar lagi turunan, sebentar lagi minum kopi… oh enaknya… tapi saya sadar itu hanya bayangan!

Tak lama kemudian, ada satu tanjakan terakhir sebelum finis yang gradiennya mencapai 15 persen. Akhirnya sampailah kami di hotel Manulalu di jalan Mangulewa-Jerebu, Ngada, Bajawa, NTT.

Terasa sangat lega kami bisa menyelesaikan etape terberat ini. Widi berbisik pada saya, kenapa kamu menyiksa aku salah apa aku padamu? Dan sayapun terdiam sambil menikmati kopi Bajawa.

Hotel Manulalu ini sangat keren karena view kami langsung melihat gunung Inerie. Gunung tertinggi di Flores dan vulkanik ini terletak di kecamatan Ngada, Bajawa.

Hari ini, Rabu, 18 September kami akan meneruskan perjalanan dari kota Bajawa menuju kota Borong. Sejauh 80 km dan estimasi menanjak setinggi 800 meter. *

 


COMMENTS