Dulu Benci, lalu Cinta dan Juara

Jangan membenci jika tidak mau jatuh cinta. Itulah yang dialami oleh Diah Asri Astyavi. Begitu bencinya bersepeda, sampai bersumpah tidak mau lagi naik sepeda.

“Saya pernah jatuh dari atas sepeda. Waktu itu pakai MTB dengan rem cakram yang pakem sekali. Pas turunan, saya mengerem terlalu keras jadinya jumpalitan di aspal, jadi sakitnya setengah mati. Kepala pusing, perut mual. Udah gitu malu juga,” ceritanya berapi-api.

Sejak 2013 itu, dia bersumpah tidak mau gowes. sang suami, Muhammad Fadli Immamudin, juara medali emas Asian Games Para Games sabar mendiamkan Asty, panggilan akrab sang istri. Tanpa putus asa, Fadli terus membujuknya untuk kembali gowes. Tapi Asty tak kalah kerasnya dalam menolak.

Asty kembali ke hobi awal, berlari. Lama-kelamaan Asty bosan. “Setiap saya lari pagi, saya selalu disapa oleh cyclist. Mereka ramah dan terlihat enjoy serta happy. Beda dengan runner yang jutek semua,” bilangnya. Mulailah ibu dari Mohammad Ali Immanudin ini penasaran dengan nikmatnya gowes.

Saat Fadli mengajaknya gowes, hati Asty mulai goyah. Perlahan jersey, sepatu, dan apparel lain milik Fadli dicobanya. “Sepatu paling susah, kebesaran. Jadi harus diganjal kaos kaki,” bilangnya lantas tertawa.

Fadli meminjamkan salah satu road bikenya, Wdnsdy AJ1 warna Chartreuse. Mulailah Asty kembali bersepeda setelah di November 2017.

“Takut banget! Takut jatuh! Tapi Fadli terus memberi support dan menemani. Gowes hari pertama ke Ahpoong ngeloop. Aku pelan banget!” tutur warga kawasan Taman Tampak Siring Bogor ini.

Setelah tiga hari on bike, rasa percaya Asty kembali muncul dan mulai merasakan kenikmatannya. “Hari ketiga saya sudah berani balik ngeloop di Ahpoong sendirian tanpa ditemani Fadli,” bangganya.

Dan sejak hari ketiga itu, hati Asty mulai bergetar. “Inikah tanda mulai cinta dengan sepeda?” gumamnya. Dan benar, setelah itu, semuanya mengalir dan makin cinta bersepeda.

Sebagai ibu rumah tangga, Asty tidak ada latar belakang olahragawan. Jadi banyak diajari Fadli tentang power, cadence, maupun perpindahan gigi.

Karena Asty hanya penghobi, gowesnyapun hanya seputaran Sentul, Rainbow Hill, vila Prabowo, gunung Pancar, Ahpoong, dan Hambalang. Jalur keluar Sentul biasanya Asty bersama Fadli atau kawan-kawan KGB menuju Gadog, Rintu Alam, dan Curug Panjang.

“Saya jarang sekali gowes keluar kota. Beda dengan Fadli yang memang atlet sepeda. Jadi jika ada acara di luar kota wah senangnya bukan main,” bilang perempuan kelahiran 1988 ini.

Efek dari rutin bersepeda adalah Asty merasakan tubuhnya kian ringan. Bobot yang awalnya 60 kg mudah turun menjadi 50 kg. Asty sering berlatih dengan teman-teman KGB karena Fadli banyak berada di Solo untuk pelatihan sepedanya.

Jadi, Roy Aldrie Widhyanto, dari KGB Racing yang melatih Asty. Menu latihannya, Rabu main tanjakan ke Gadog Rindu alam, Kamis menu interval, Sabtu latihan endurance.

Alhasil, latihan selama sembilan bulan terakhir ini mengantarnya mencapai podium di even Bromo KOM Challenge dan GFNY Bali. “Tidak menyangka saya bisa menjadi juara di even sepeda. Awalnya saya sangat membenci sepeda, sekarang saya sangat mencintai sepeda!” bangganya.

Menurutnya, lebih enak latihan bersama Roy dan teman-teman KGB karena bisa lebih serius dan ada programnya. Berbeda jika gowes denga Fadli. “Kalo dengan Fadli, gowesnya lebih santai karena kita akan ngobrolin ini itu. Santai aja ke KM0 dan minum teh jahe atau nongkrong di coffee shop. Itulah quality time kita berdua, di atas sepeda!” bilang Asty sambil tertawa.

Asty sekarang ketagihan ikut even sepeda. Turing maupun balap. “Bisa banyak ketemu teman baru, suasana baru dan senang karena latihan keras yang selama ini dijalani terbayar bisa menyelesaikan even dengan baik. Bahkan kadang juara,” tutup perempuan yang gowes rata-rata 400 km dalam seminggu. (mainsepeda)

 


COMMENTS