Bikepacking untuk Membuang Kejenuhan Bersepeda

Judul tulisan ini mengandung double meaning.

Pertama, melakukan bikepacking adalah salah satu cara untuk mengatasi kejenuhan bersepeda. Apalagi kalau selama ini rutenya itu-itu saja, dalam kota maupun menanjak.

Kedua, karena bikepacking itu menuntut ketekunan dan ketabahan, maka perlu pula tips untuk membuang kejenuhan selama di jalan.

Baru-baru ini, saya melakukan bikepacking untuk kali kedua. Mengajak istri dan beberapa teman untuk gowes tiga hari. Dari Surabaya menuju Mandalika, Lombok. Melewati rute di tiga pulau. Di Jawa, Bali, dan Lombok. Semua pakaian dan kebutuhan harus diangkut di sepeda. Tanpa support motor apalagi mobil.


Persiapan berangkat bikepacking, berkumpul di gerai swalayan di Jalan Ahmad Yani Surabaya.

Ini merupakan kali kedua saya melakukan bikepacking. Kali pertama dulu lebih ekstrem lagi. Dari Surabaya hingga Labuan Bajo. Rute di jalannya nyaris 1.000 km, plus waktu perjalanan naik kapal atau feri, dan semua dituntaskan dalam enam hari. Waktu itu kami berenam, termasuk Pak Tonny Budianto yang waktu itu hampir 60 tahun, dan Koh Hay yang sudah 70 tahun.

Waktu itu Januari 2018. Semua naik sepeda turing Trek 520, yang pindah giginya masih di ujung bawah handlebar. Plus, waktu itu sepakat tidak boleh keluar uang lebih dari Rp 2 juta selama perjalanan. Harus menginap di hotel/homestay murah, makan di warung.

Aturan baru berakhir ketika sampai di Pelabuhan Sape. Ketika kami menyewa kapal kayu yang mengantarkan kami ke Labuan Bajo, mampir dulu lihat Komodo di Pulau Rinca.


Perjalanan bikepacking 2018, dari Surabaya hingga Labuan Bajo. (catatan perjalanan dan foto-foto bikepacking 2018 bisa dibaca di sini).

Sama seperti kali kedua ke Mandalika, kami melakukan bikepacking itu sebagai variasi hobi. Bosan dengan rute dan habit yang sudah kami jalani bertahun-tahun. Selalu ngeloop di situ, selalu menanjak ke situ-situ saja.

Bikepacking bisa menjadi ujian besar isi hati kita. Apakah kita benar-benar hobi bersepeda, atau mungkin masih kurang menjiwai lagi hobi ini. Karena saat bikepacking, kita terus mengayuh pedal ratusan km sehari, selama berhari-hari.

Dan ini bukan bikepacking untuk balapan seperti Bentang Jawa ya. Walau rute dan kecepatannya mungkin mirip. Tujuan utamanya adalah menjajal sesuatu yang baru, menguji seberapa hobi kita ini dengan dunia sepeda.

Dari perjalanan pertama itu, kami banyak belajar. Diterapkan untuk trip kedua kali ini. Sekali lagi ditegaskan, ini bukan bikepacking untuk balapan! Berikut beberapa tips yang bisa saya dan teman-teman berikan:

Nyawanya di Rute
Penentuan rute adalah "nyawa" dari sebuah perjalanan. Harus jarak yang menantang, walau rutenya tidak harus sangat menantang. Tergantung keinginan Anda, benar-benar mau yang ekstrem atau tidak.

Kebetulan, rute kami Surabaya ke Mandalika tantangannya bukanlah rute itu sendiri. Tantangan utamanya adalah disiplin waktu, mengingat kami harus mengikuti jadwal kapal/feri untuk menyeberang dari Jawa ke Bali, lalu Bali ke Lombok. Untuk bisa tuntas tiga hari, harus benar-benar pas perhitungan panjang rute dan elapsed time-nya (waktu yang dibutuhkan untuk gowes plus segala istirahat).

Bagaimana pun, keselamatan adalah yang utama. Pastikan Anda mempelajari betul rute tersebut. Tahu di mana tempat istirahat, makan, dan --yang paling penting-- kalau ada kebutuhan emergency.

Bawaan Harus Pas
Pelajaran dari trip 2018: Jangan bawa terlalu banyak barang. Khususnya terkait kebutuhan toiletries dan makanan! Bikepacking di Indonesia beda banget dengan di Eropa atau Amerika.

Kalau di dua wilayah barat itu, jalanannya panjaaang dan hampa tidak ada apa-apa. Kalau di Indonesia, semuanya tersedia di kebanyakan pinggir jalan. Seperti mengutip omongan Johnny Ray di podcast Mainsepeda: Indonesia ini adalah "Bentang Warung."

Pada 2018, kami akhirnya banyak mengeluarkan makanan dari tas-tas sepeda. Memberikan kepada orang-orang yang kami temui. Sedangkan bawaan lain yang kebanyakan, akhirnya kami paketkan balik ke Surabaya! Kami baru sadar bawa kebanyakan pada hari ketiga!

Pada trip ke Mandalika, semua serba pas. Kebutuhan pakaian, sepeda maupun kasual, sudah ditata sedemikian rupa. Satu hari dalam satu kantong plastik. Jadi tidak ribet bongkar-bongkar tas. Tidak perlu ekstra pakaian, karena di perjalanan bisa mencoba mencuci dan mengeringkan.

Soal kebutuhan kamar mandi, Indonesia ini bukan sekadar

"Bentang Warung." Indonesia ini juga "Bentang Mini Market." Dekat penginapan pasti ada mini market atau toko kelontong. Beli sampo dan sabun sasetan beres!

Disiplin Waktu
Ini mungkin yang paling sulit untuk dijaga. Apalagi kalau sehari harus gowes lebih dari 200 km. Dalam trip ke Mandalika, hari pertamanya 270 km dari Surabaya ke Ketapang, Banyuwangi. Lalu hari keduanya 202 km dari Gilimanuk ke Padang Bai.

Resep utamanya: Tidak harus ngebut di jalan! Resep utamanya: Mengoptimalkan segala waktu istirahat, misalnya waktu makan dan mengisi suplai di warung atau mini market.

Pelajari betul rute Anda, lalu bagi-bagi sesuai kemampuan. Semisal, berhenti setiap 40-50 km. Tapi berhentinya jangan terlalu lama. Makan juga jangan terlalu banyak. Kalau kecepatan rata-rata 25-30 km/jam, jarak 40-50 km itu memakan waktu bisa dua jam. Jadi bagi waktu yang baik.

Perjalanan lintas pulau lebih rumit karena harus mengikuti jadwal kapal/feri penyeberangan. Dan jadwal itu sering berubah! Misalnya, saat akan menyeberang ke Gilimanuk, kami berharap bisa naik feri sebelum jam 7 pagi. Tapi ternyata dapatnya 07.45.


Menyeberang dari Ketapang ke Gilimanuk.

Lalu, kami harus ingat bahwa ketika sampai Gilimanuk, waktunya sudah bergeser dari WIB ke WITA. Jadi, kami baru mulai gowes hampir pukul 10 pagi WITA, dan harus mencapai Padang Bai yang jaraknya 202 km.

Tantangannya, rute ke Padang Bai itu terus naik turun. Serunya pada 40 km terakhir, yang menanjaknya lumayan disusul naik turun lagi sampai ke tujuan. Alhasil, walau hanya makan siang sekali (dan kilat) di sekitar Lovina, kelompok terdepan baru sampai Padang Bai pukul 20.00.

Jadi, pastikan Anda bisa menghitung waktu dengan baik, dan disiplin pada jadwal yang ditetapkan. Sangatlah mudah untuk terlena saat istirahat, dan tidak sadar kalau sudah berhenti kelamaan. Kalau ada peserta yang manja dan suka mengomel, tinggal saja atau suruh pulang (wkwkwkwk)!

Sepeda dan Ban Sesuai Rute
Mengingat bikepacking itu belum tentu memburu kecepatan (ketepatan waktu bukan berarti kecepatan), maka prioritas pemilihan sepeda adalah kenyamanan. Bisa konyol juga kalau memaksakan sepeda yang paling aero atau paling ringan.

Dulu ada sepeda touring (seperti Trek 520 yang kami pakai pada 2018). Tapi sekarang ada sepeda gravel, yang notabene bisa dipakai untuk kebutuhan turing. Juga dilengkapi dengan lubang-lubang di frame untuk dipasangi rak, pannier, spakbor, bahkan dinamo lampu.

Satu lagi, jalanan di Indonesia ini secara umum banyak ranjaunya. Kelihatan mulus, tapi ada benjolan-benjolan atau lubang kecil atau bergaris yang bisa mengakibatkan kecelakaan. Pengalaman saya, gunakan ban ukuran 30 mm atau lebih besar. Percayalah, bikepacking bukan bersepeda "kalcer-kalceran."

Pada 2018, kami memakai ban 35 mm, karena bawaannya juga jauh lebih banyak (untuk enam hari trip). Saat ke Mandalika, rata-rata kami memakai ban 32 mm. Ada juga yang memakai ban 30 mm. Semua ban tipe endurance dengan lapisan pelindung ekstra. Bukan ban performance kecepatan.

Jersey dan Bib Short yang Nyaman
Soal pakaian so pasti harus yang senyaman mungkin. Pakai jersey aero dan ketat akan sangat tidak nyaman ketika harus dipakai 10-12 jam (atau lebih) dalam sehari.

Kebetulan, saat ke Mandalika, kami sekaligus jadi kelinci percobaan SUB Jersey mengembangkan barisan produk T/A/G-nya. Touring, Adventure, dan Gravel. Bajunya berkarakter lebih loose, bib-nya dengan padding dari Italia dan kantong-kantong ekstra.

Dan sebenarnya, untuk gowes mbolang seperti ini, pakaiannya jauh lebih bebas!

Lampu, Aksesori, dan Lampu
Lampu-lampu yang mumpuni merupakan syarat superpenting gowes mbolang. Pastikan lampu depan sangat terang, pastikan lampu merah belakang juga berukuran ekstra (besar atau panjang).

Tantangan gowes di Indonesia beda dengan di negara barat. Di sana tidak ada kendaraan melawan arus. Baik itu motor dikendarai emak-emak atau bahkan truk dan bus yang sedang menyalip dari arah berlawanan!

Lampu, lampu, dan lampu! Bawa ekstra!

Sedangkan aksesori lain, yang pasti tas-tasnya harus pas ukurannya. Berapa hari pergi, berapa banyak bawaan, menentukan ukuran tas atau pannier yang dibawa. Sekali lagi, kita beruntung Indonesia ini "Bentang Warung." Jadi tak perlu bawa makanan atau minuman berlebih.

Tantangan khusus untuk sepeda berukuran kecil, seperti milik istri saya. Harus pasang rak khusus, tidak bisa pakai tas besar di belakang sadel (ruang antara sadel dan ban kurang besar). Juga tidak bisa pakai tas panjang yang digantung di top tube.

Berapa Biaya Surabaya-Mandalika?
Ada yang bertanya seperti ini. Habis duit berapa untuk trip tiga hari ke Mandalika? Jawabannya bisa mengejutkan, tapi pada dasarnya bergantung pada kemauan yang gowes.

Yang pasti tidak perlu beli bahan bakar minyak. Makan juga secukupnya, karena tidak mungkin makan berlebih untuk perjalanan mengayuh sejauh itu. Mahal atau tidak makanan, ya tergantung Anda stop di mana dan restoran level apa. Kalau di warung-warung, ya murah bukan?

Naik kapal feri, di Indonesia, juga murah banget. Total dua feri (Gilimanuk-Ketapang dan Padang Bai-Lembar) per orangnya tidak sampai Rp 100 ribu! Termasuk sepedanya!

Penginapan, ini tergantung Anda maunya gimana. Kami kebetulan menginap di hotel di Ketapang dan Padang Bai yang tarif per malamnya di kisaran Rp 200 ribu/kamar. Itu satu kamar diisi dua orang. Hanya di Lomboknya saja yang "salah klik" di hotel agak bagus he he he... (Azrul Ananda)

Foto-Foto: Dokumentasi Pribadi dan Musse / BRCC 


COMMENTS